Pondok Jejaka


Satu

Usaha keras Yuda selama ini akhirnya membuahkan hasil juga. Dengan wajah sumringah ia menunjukkan namanya yang mejeng diantara nama-nama lain yang dinyatakan lulus SPMB pada kedua orang tuanya. Di Fakultas Teknik Elektro salah satu universitas negeri favorit di Depok. “Yuda lulus ma, pa,” katanya pada kedua orang tuanya. “Anak mama memang pinter deh,” sahut sang mama sambil memberikan cium sayang di pipi anak bungsu kesayangannya itu. “Papa tekor nih ma,” kata sang papa. “Kenapa pa?” tanya sang mama. “Papa kan janji akan membelikan sepeda motor baru buat Yuda kalo lulus SPMB ma,” jawab sang papa. Yuda senyum-senyum kegirangan mendengar kata-kata sang papa. Sepeda motor baru yang diidamkannya selama ini menggantikan sepeda motor lamanya akhirnya jadi juga dihadiahkan oleh sang papa. Dengan kondisi ekonomi keluarga mereka yang jauh diatas rata-rata, Papa Yuda adalah salah seorang pengusaha perantauan yang sukses di Makassar, sebenarnya bisa saja sang papa membelikan sebuah mobil untuk Yuda. Namun cowok ganteng satu ini memang belum pernah punya keinginan untuk memiliki mobil sendiri. Saat ditanyakan oleh sang mama apa alasannya tidak mau memiliki mobil sendiri dengan enteng Yuda menjawab, “Lebih enak naik sepeda motor ma. Kalo membonceng cewek, lebih mesra.” Sang mama hanya bisa mencubit sayang pipi anak bungsunya ini. Sambil ngeledek, “Anak bungsu mama ini ternyata genit ya. Kecil-kecil udah playboy.” Yuda hanya nyengir lucu mendengar ledekan mamanya itu. Yuda memang anak yang unik. Diantara dua saudaranya yang lain dia memang lebih sederhana dalam penampilan. Mas Yudi dan Mbak Yenny, masing-masing kakak pertama dan keduanya, dua-duanya mengendarai mobil dalam keseharian mereka. Sejak masih tinggal di Makassar dulu dan juga saat ini, dimana keduanya sedang menimba ilmu, kuliah di Pulau Jawa. Mas Yudi kuliah di PTN Teknik yang ada di Bandung, sedangkan Mbak Yenny kuliah di PTN yang ada di Yogyakarta, tak jauh dari rumah kakek dan nenek keluarga Yuda. Meskipun berasal dari keluarga mampu, Yuda dan kakak-kakaknya memang serius dalam hal pelajaran. Karena itu wajar saja mereka semua dapat lulus di PTN favorit yang ada di Pulau Jawa. “Kapan dong pa, Yuda dibelikan sepeda motor barunya?” tanya Yuda menagih janji sang papa. “Nanti aja di Jakarta ya Yud. Supaya gak repot-repot membawanya dari sini,” “Oke deh pa. Makasih ya papa dan mama tersayang,” jawab Yuda sambil mencium pipi kedua orang tuanya bergantian. Setelah itu cowok ganteng bertubuh tinggi langsing atletis itu siap-siap ngacir meninggalkan kedua orang tuanya yang masih sibuk membolak-balik surat kabar berisi pengumuman SPMB itu. “Mau kemana sayang?” tanya sang mama. “Ke rumah Reny ma. Mau pamit sekaligus mutusin dia. Soalnya repot kan pacaran jarak jauh. Lagian di Jakarta banyak cewek-cewek manis ma, kasihan kalau Yuda cuekin mereka. Kalo disini kan Reny masih bisa ketemu cowok lain di sekolah, dia kan baru naik kelas 2,” jawab Yuda enteng. Mama dan papanya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari anak bungsunya yang ternyata berbakat playboy itu. Kedua orang tua Yuda memang tak terlalu mempermasalahkan “bakat” sang anak yang suka gonta-ganti pacar itu. Karena meskipun Yuda begitu, dia tak pernah melakukan hal-hal yang dapat merusak masa depannya. Buktinya sekolahnya tetap lancar dan cewek-cewek yang pernah dipacarinya pun masih tetap berhubungan baik dengannya. Malah masih sering berkunjung ke rumah Yuda yang terletak di salah satu kompleks perumahan mewah di Kota Makassar. Reny yang tadi disebut Yuda adalah pacarnya yang terakhir. Teman satu sekolahnya yang waktu dipacarinya masih duduk di kelas 1. Yuda memang salah satu idola cewek-cewek di sekolahnya. Gimana gak jadi idola. Anaknya pinter di kelas, penampilan fisik oke, olah raga jago, kaya tapi sederhana dan supel dalam bergaul. Oleh karena itu setiap orang yang mengenal Yuda sangat senang bergaul dengannya. Prestasinya juga membanggakan. Yuda pernah menjadi utusan propinsinya untuk menjadi anggota Paskribaka di Istana Merdeka. Selain itu, saat ia menjadi kapten kesebelasan sepak bola sekolahnya Yuda menghantarkan kesebelasannya menjadi juara pertama dalam Kompetisi Sepak Bola antar pelajar se-propinsi. Cowok yang sempurna? Kayaknya iya. Bukankah itu yang anda sukai saat membaca cerita-cerita seperti ini kan? Hehe.

Dua

Yuda disambut oleh Mas Yudi di Bandara Internasional Sukarno-Hatta Cengkareng. Sesuai dengan perintah kedua orang tuanya melalui telepon, kakak pertamanya itu ditugaskan untuk membantu Yuda dalam mengurus proses penerimaan mahasiswa baru di kampusnya. Kebetulan Yudi berada di Bandung, maka menurut kedua orang tua mereka cukuplah kakak tertua Yuda itu yang membantu, mama dan papa Yuda tak perlu harus ke Jakarta untuk mengurusi keperluan Yuda. “Bawa oleh-oleh apa Yud buat gue?” sambut Mas Yudi sambil menjawil telinga adik bungsunya itu. Wajahnya tersenyum lucu. “Dasar deh Mas Yudi, bukannya nanya kabar mama sama papa, malah nanya oleh-oleh,” jawab Yuda pura-pura cemberut. Sumpah, meski cemberut wajah Yuda tetap aja ganteng lho. Selanjutnya kedua kakak beradik yang ganteng-ganteng itu berpelukan hangat melepas rindu. Setelah acara melepas rindu usai, Mas Yudi mengajak Yuda untuk meninggalkan bandara. “Kita istirahat dulu hari ini, besok berangkat ke Depok cari kos buat kamu. Setelah itu mendaftar ulang ke kampus jelek kamu itu,” kata Mas Yuda. “Enak aja. Kampus Mas Yudi yang jelek. Wek,” jawab Yuda sambil meleltkan lidahnya. Sembarangan aja Mas Yudi ini bilang kampus Yuda jelek. Itu kan kampus paling favorit se-Indonesia. Dengan mengendarai mobil sedan milik Mas Yudi, kedua kakak beradik itu melaju di jalan raya Jakarta menuju hotel di kawasan Senayan untuk beristirahat.

Tiga

Fakultas Teknik Elektro sudah ramai saat Yuda dan Mas Yudi tiba. Setelah memarkirkan mobilnya, Mas Yudi mengajak Yuda melihat papan pengumuman yang berisi tata cara pendaftaran ulang bagi mahasiswa baru. Papan pengumuman itu sudah ramai di rubungi oleh mahasiswa baru. Untunglah kedua kakak beradik itu memiliki ukuran tinggi badan diatas rata-rata, hampir 180 cm, sehingga mereka tak perlu kerepotan untuk melihat pengumuman. “Oke deh. Kamu kan udah tau apa yang harus dibawa untuk daftar ulang. Sekarang kita cari kos dulu buat kamu. Besok kamu sudah bisa daftar ulang kemari,” kata Mas Yudi. “Oke Mas,” jawab Yuda. “Mas, bingung juga nih cari kos disini. Kita tanya orang-orang aja dulu,” ajak Mas Yudi disambut anggukan Yuda. “Liat di papan pengumuman yang deket gedung itu deh mas. Disana banyak tuh selebaran informasi tempat kos,” terang seorang cewek manis saat mereka bertanya-tanya tentang lokasi tempat kos. “Boleh kenalan kan, nama gue…,” kata Yuda pada cewek itu. Cepat Mas Yudi menarik tangan adik bungsunya yang mulai muncul tabiat playboynya itu. Urusan cari kos belum beres malah sibuk kenalan nih anak. Cewek itu hanya tersenyum malu-malu. Benar saja di papan pengumuman itu tertempel banyak selebaran informasi kos. Satu per satu pengumuman itu dibaca oleh Mas Yudi. Akhirnya matanya tertumbuk pada sebuah pengumuman yang cukup unik isinya. “Kalo elo ngerasa ganteng, enggak sombong, en berasal dari keluarga baek-baek, buruan dateng deh ke kos-kosan . Fasilitas lengkap dan dijamin bebas dari narkoba en pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswi. Masih tersisa dua kamar kosong. Buruannnn sebelon keabisan. Untuk informasi, hubungi Ivan di nomor HP : 081XXXXXXX,” (Nomor handphone sengaja disembunyikan untuk menghindari iklan dan aksi coba-coba yang mungkin anda lakukan dengan menghubungi nomor tersebut. Kalau ternyata nomor yang ditulis beneran punya gay atau biseks gak masalah. Kalau punya lesbian gimana? Kan elo rugi pulsa. Hehehe). Mas Yudi segera menghubungi nomor hand phone itu. “Masih sisa satu kamar kosong lagi ya? Hmm.. satu setengah juta setahun. Mmm belum termasuk bayar tagihan listrik dan telepon? Ada ac ya? Boleh punya televisi dan komputer di kamar? Ada garasi buat kendaraannya ya? Oke deh kita coba liat ke situ. Alamatnya dimana? Hmm disitu ya. Oke, oke. Kami kesitu ya. Nama saya Yudi. Makasih Van. Klik,” “Gimana mas?” tanya Yuda. “Kayaknya lumayan. Ayo kita liat ke situ sekarang,” “Ayo,”

Empat

Mencari kos-kosan ternyata tak sulit. Lokasinya tak terlalu jauh dari jalan raya Depok. Kos-kosan itu berupa rumah yang terawat bersih dan rapi. Dipintu rumah terdapat tulisan . Di garasi terdapat dua buah mobil sedan dan satu sepeda motor. Sepertinya kos-kosan itu diperuntukkan untuk kalangan menengah. “Males ah disini mas. Kayaknya mewah banget,” kata Yuda saat melihat kos-kosan itu. “Kamu ada-ada aja deh. Entar papa dan mama marah ke Mas Yudi, kalo kamu mas masukin kos-kosan yang kumuh. Ayo turun kita liat ke dalam,” Tak lama setelah memencet bel, Mas Yudi dan Yuda disambut oleh seorang cowok ganteng bercelana pendek yang membukakan pintu. “Yudi ya,” kata cowok itu yakin. “Iya. Ivan ya,” “Yap betul. Silakan masuk mas,” jawabnya. Ruangan dalam kos itu bersih dan terawat baik. Ruang tengah sepertinya diperuntukkan untuk tempat ngumpul-ngumpul, ada tiga orang cowok, yang juga ganteng-ganteng sedang duduk diatas karpet menonton televisi yang sedang menayangkan acara Buser. Ketiga cowok ganteng itu mengangguk ramah pada Mas Yudi dan Yuda. Sepertinya ini kos anak baik-baik, batin Mas Yudi. Ivan mengajak Mas Yudi dan Yuda duduk di kursi tamu. “Siapa yang mau kos nih? Dua-duanya?” tanya Ivan. “Enggak, adik saya ini aja. Yuda namanya. Kalo saya kuliah di Bandung,” “O gitu. Mau liat kamarnya sekarang?” “Yang punya kos kamu Van?” “Bukan Mas. Kita berempat yang ngekos disini. Yang punya kos tinggal di Tangerang Mas. Rumah ini dikontrak per tahun. Awalnya kami ada lima orang yang ngontrak bareng-bareng. Karena yang dua udah lulus, jadi kita perlu dua orang lagi untuk ngisi kamar yang kosong mas. Kalo yang ngontrak lima orang kan biaya kontrakannya per orang jadi gak terlalu berat mas,” “Hmmm… Terus kok kamarnya tinggal satu. Katanya butuh dua,” tanya Mas Yudi lagi. “Kemaren udah ada satu temen yang baru masuk mas. Yang pake kaos biru itu,” tunjuk Ivan ke arah seorang cowok ganteng berkulit hitam manis. Kayaknya cowok itu berasal dari daerah Indonesia timur. “O gitu ya. Kita boleh liat kamarnya?” “Boleh mas,” Ivan kemudian menunjukkan kepada Mas Yudi dan Yuda kamar yang masih belum ada penghuninya itu. Didalam kamar itu sudah tersedia tempat tidur spring bed besar. Meja belajar. Dan meja kosong yang bisa digunakan untuk meletakkan televisi. Kamarnya cukup luas. Mas Yudi langsung tertarik. Sedangkan Yuda terlihat ogah-ogahan. Cowok ganteng itu sebenarnya tak mengharapkan tempat kos yang lumayan mewah seperti itu. Namun untuk menolak Mas Yudi dia merasa tak enak. Dibenaknya terfikir untuk mencari kos lain tahun depan, setelah ia mengetahui situasi di sekitar kampusnya. Tak berlama-lama Mas Yudi segera membayar uang kos itu pada Ivan. Barang-barang Yuda yang ada di mobil segera diangkat ke dalam kamar. Cowok-cowok penghuni kos itu membantu mengangkati barang-barang Yuda ke kamar. Mas Yudi semakin senang dan yakin kos itu cocok buat Yuda karena melihat keramahan penghuni kos itu.

Lima

Malam itu Mas Yudi menginap di kos Yuda, memastikan bahwa tempat kos itu memang seperti apa yang dibayangkannya. Satu per satu penghuni kos berkenalan pada Mas Yudi dan Yuda. Ivan berasal dari Aceh. Kulitnya putih dan tidak terlalu tinggi. Mungkin tingginya sekitar 168 cm. Tubuhnya langsing berotot. Katanya dia turunan Arab, pantas saja tubuhnya rame dengan bulu-bulu halus. Pada wajahnya terlihat jelas bekas cukuran. Saat ini ia duduk di Semester lima Fakultas Ekonomi. Ali, asal Magelang. Sawo matang, lebih tinggi dari Ivan dan langsing. Hidungnya mancung bagus mirip Keanu Reeves. Anaknya suka tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sama dengan Ivan, Ali juga kuliah di semester lima Fakultas Ekonomi. Darwin, asal Palembang. Kulitnya putih dan matanya sipit mirip turunan Cina. Tubuhnya paling kekar diantara mereka. Kekerannya itu dapat terlihat jelas karena Darwin suka memakai kaos yang berukuran ngepas pada tubuhnya. Sepertinya anak satu ini rajin olah tubuh. Tubuhnya kokoh dan tingginya sama dengan Yuda. Saat ini ia masih duduk di semester tiga Fakultas Teknik Arsitektur. Stefanus, asal Ambon. Kulitnya hitam manis. Wajahnya ganteng sekali. Bulu matanya lentik. Dia ini yang penghuni baru. Darwin yang mengajaknya pindah ke kos ini. Mereka memang sama-sama kuliah di semester tiga Fakultas Teknik Arsitektur. Meskipun tidak sekekar Darwin, namun Stefanus punya tubuh yang oke juga. Kesimpulan Mas Yudi setelah menginap malam itu adalah teman-teman kos Yuda baik-baik. Tak ada yang menunjukkan prilaku bermasalah. Tak ada narkoba disitu, merokok saja mereka juga tidak. Sex bebas juga sepertinya tidak, meskipun cowok-cowok itu sering menerima tamu cewek-cewek cantik, maklum aja deh soalnya mereka kan ganteng-ganteng wajar banyak cewek yang suka, namun mereka menerima tamu-tamu cewek itu hanya terbatas hingga teras depan saja. Tak ada satupun tamu cewek mereka yang diajak duduk di ruang tamu, apalagi sampai ngamar. Akhirnya Mas Yudi merasa tak perlu berlama-lama menemani Yuda di kos barunya itu. Keramahan penghuni kos memang membuat Yuda dan Mas Yudi dapat cepat bergaul dengan mereka. Karena itu Mas Yudi tak merasa kuatir Yuda kesulitan bergaul dengan mereka. Apalagi Yuda dan juga Mas Yudi punya bakat untuk cepat bergaul dengan orang lain. Meskipun Yuda kurang sreg dengan kos itu, ia bisa menyembunyikan hal itu sehingga tidak mengganggu komunikasinya dengan penghuni kos yang lain. Setelah membereskan segala urusan Yuda akhirnya Mas Yudi memutuskan untuk kembali ke Bandung keesokan sorenya. Sebelumnya ia sempat membawa Yuda ke Glodok dan membelikan adik bungsunya itu televisi, radio tape dan seperangkat komputer. “Sepeda motor gue gimana dong Mas?” tanya Yuda pada kakak tertuanya itu. Papanya sudah mentransferkan untuknya uang pembelian sepeda motor itu. “Entar sepeda motor kamu beli sendiri deh. Kamu bisa ajak temen-temen kamu disini untuk nolongin nyarinya, mereka kan udah paham Jakarta. Lagian kamu kan udah cocok bergaul sama mereka,” tanggap Mas Yudi. Dengan diantarkan sampai ke pintu gerbang seluruh penghuni , Mas Yudi berangkat ke Bandung sendirian dengan mengendarai mobil sedannya. Enam

Perkuliahan baru akan mulai minggu depan. Karenanya kegiatan penghuni kos lebih banyak diisi dengan hanya menonton acara televisi di rumah. Seluruh tayangan dari berbagai stasiun televisi ditonton oleh cowok-cowok itu. Saking seringnya menonton acra televisi, Yuda sampai hapal jadual acara di televisi yang selama ini tak diketahuinya. Waktu di Makassar cowok ganteng ini memang sangat jarang menonton acara televisi. Lebih sering kegiatannya diisi dengan belajar atau bawa ceweknya jalan-jalan. Penilaian Yuda pada cowok-cowok, teman-teman barunya di kos itu sama dengan Mas Yudi. Baik-baik dan tidak melakukan hal-hal aneh. VCD player saja tak ada disitu. Sepertinya cowok-cowok itu tak pernah nyetel film deh. Sesekali Ivan dan Darwin yang punya mobil, mengajak mereka jalan-jalan malam. Nongkrong sambil makan malam di luar, rame-rame. Lumayan juga buat menghilangkan kebosanan Yuda ngedekem seharian di kos. Namun dua hari setelah kepergian Mas Yudi, Yuda mulai melihat keanehan pada diri teman-teman kosnya itu. Yuda jadi bingung dan penilaiannya mulai berubah. Tempat kos itu tidak memiliki kamar mandi di dalam kamar tidur. Kamar mandi terdapat di bagian belakang rumah, dekat dapur. Jumlahnya dua. Satu kamar mandi kecil untuk buang hajat dan satu lagi kamar mandi yang berukuran besar, ukurannya tiga kali tiga meter, biasanya digunakan untuk mandi. Berkaitan dengan kamar mandi inilah keanehan yang dirasakan Yuda pada teman-temannya itu. Saat akan pergi ke kamar mandi, cowok-cowok itu dengan cuek melenggang dari dalam kamar tidurnya hanya menggenakan cawat doang. Tubuh-tubuh atletis mereka santai saja melintas melalui ruang tengah tempat anak-anak yang lain nonton televisi. Yuda benar-benar kaget saat pertama kali melihat kebiasaan mereka itu. Meskipun waktu di Makassar dulu ia sering melihat cowok hanya menggenakan cawat doang, namun itu hanya ada di kolam renang. Kalau melihat cowok berkancut di rumah Yuda belum pernah. Dan ia merasa janggal dengan itu. Cowok yang pertama kali dilihatnya seperti itu adalah Darwin. Dengan santai ia melintas memamerkan tubuh kekar berototnya yang hanya ditutupi celana dalam doang itu. Malah di samping televisi dengan menumpukan tangannya pada dinding, ia berhenti cukup lama menayakan acara apa yang sedang ditonton. Bulu-bulu halus ketiaknya yang lebat itu dipamerkannya pada para pirsawan. “Ngapain Win?” tanya Yuda waktu itu. Ia merasa risih melihat Darwin berpose santai seperti itu. “Mau mandi Yud,” jawab Darwin cuek. “Kok,” “Santai aja. Cowok semua juga kan,” jawabnya enteng. Yang laen hanya tertawa-tawa. Malah Ali nyeletuk santai, “Gede juga Win,” katanya. Setelah Darwin beres mandi dan keluar hanya dengan handuk doang. Giliran Ivan yang dengan santai melepaskan seluruh busananya di depan anak-anak. Diapun kemudian berjalan santai menuju kamar mandi dengan celana dalam mungilnya. Yuda tambah bingung. Pikirnya itu hanya kebiasaan Darwin seorang. Akhirnya satu per satu teman-temannya berbuat seperti itu. Yuda hanya bisa melotot bingung melihat mereka. Sejak hari itu, akhirnya Yuda mulai terbiasa dengan kebiasaan mandi penghuni kos . Malah kinipun dia juga ikutan cuek aja pake cawat doang menuju kamar mandi. Hanya yang masih belum dapat dimaklumi oleh Yuda adalah kesukaan teman-teman barunya itu yang lain. Yaitu mandi bareng-bareng di kamar mandi besar. Yuda sampai melongo di depan pintu kamar mandi besar yang tidak mereka tutup pintunya itu saat melihat keempat teman barunya sedang asik mandi bareng, berebut air dibawah shower sambil tertawa-tawa dan membanding-bandingkan ukuran kontol masing-masing. Tentu saja Ivan yang turunan Arab menjadi jawara dalam acara itu. Kontolnya yang masih tidur aja udah segede terong plus dihiasi jembut halus lebat keriting itu, dipamerkannya pada teman-temannya. “Kontol begini nih yang bisa bikin cewek gak bisa nafas,” katanya sambil tertawa bangga. Yuda baru sadar kalau sedang melongo melihat mereka saat tiba-tiba Stefanus, si Ambon memanggilnya untuk bergabung bersama mereka. Serta merta ditolaknya ajakan itu, segera Yuda meninggalkan mereka menuju ruang tengah pura-pura menonton televisi. Namun fikirannya melayang pada kelakuan teman-temannya itu juga pada kontol keempat teman-temannya itu yang punya ukuran lebih besar dari rata-rata, tak jauh berbeda dari kontolnya sendiri.

Tujuh

Hari itu malam minggu. Keempat teman barunya semuanya ngilang dari kos. Kata mereka ngapel ke tempat cewek masing-masing. Ditinggal sendiri, Yuda kemudian menelpon Reny ke Makassar. Dari pada belum punya cewek di Jakarta, mendingan manfaatin yang ada aja dulu, batinnya. Bosan menelpon akhirnya Yuda pergi tidur ke kamarnya. Hampir pukul sebelas malam, tiba-tiba ia dibangunkan oleh Ali. Karena lupa mengunci pintu kamarnya, Ali bisa masuk ke kamar Yuda. “Kok udah tidur sih. Malam minggu nih. Ayo ke ruang tengah. Anak-anak bawa film bagus tuh buat di tonton,” ajak Fajar. Ogah-ogahan Yuda mengikuti langkah Fajar. Di ruang tengah dilihatnya teman-temannya sudah ngumpul di depan layar televisi. Yuda melotot melihat apa yang mereka tonton. Ternyata teman-temannya itu sedang nonton film porno. Di layar televisi terpampang adegan seorang cewek cantok sedang dientot oleh dua cowok berkontol besar sekaligus. Satu melalui memek dan satu melalui lobang pantat. Di atas karpet di dekat teman-temannya itu berserakan kemasan kepingan vcd porno berbagai judul dengan jumlah yang tak sedikit. Setidaknya ada dua puluh kemasan. “Dapet vcd player dari mana nih?” tanya Yuda bingung. “Anak-anak kan pada punya televisi dan vcd player masing-masing di kamar Yud. Cuman kan lebih enak nonton bareng-bareng di ruang tengah daripada nonton sendiri di kamar. Jadi dibawa kemari deh playernya Darwin,” jawab Ivan. “Dapet film darimana? Sampe banyak begini lagi” tanya Yuda lagi. Satu persatu judul yang tertara pada kemasan vcd itu dibacanya. Ngelihat dari gambarnya kayaknya vcdnya oke-oke deh. Dan sepertinya temanya seragam. Orgy. Dengan jumlah cowok lebih banyak daripada ceweknya. “Gimana sih Yud. Masak cowok gak punya film ginian. Kita punya semua. Elo ada gak?” ini Ali yang ngomong. “Mana ada. Tinggal di Makassar semua dong. Masak gue bawa kemari,” jawab Yuda. “Kalo elo mau nyari, entar kita ajak ke Glodok deh. Disana banyak,” sambung Darwin. Eh ternyata Darwin pake kaca mata. “Kalo nonton ginian harus pake kaca mata Yud. Biar jelas kelihatannya. Gue kan udah minus setengah,” jawab Darwin menanggapi komentar Yuda karena baru mengetahui kalo cowok ganteng yang punya tubuh kekar atletis itu ternyata memakai kaca mata. Tampang Darwin jadi kayak Clark Kent deh. Ganteng, atletis, dan berkaca mata. Rambut pendeknya yang model belah samping itu membuatnya semakin mirip dengan Clark Kent. Yuda pun kemudian ikut larut pada tontonan porno itu. Anak satu ini emang udah punya bakat doyan nonton gituan sejak dari SLTP. Dapat tontonan bagus kayak begini tentu saja tak dilewatkannya. Volume suara televisi yang cukup besar, memperdengarkan erangan dan desahan aktor dan aktris porno yang sedang ngentot itu, tentu saja menambah cepat bangkitnya birahi penonton. Yuda saja berulangkali membetulkan posisi duduknya. Kontolnya yang ngaceng keras terasa mendesak di selangkangannya.

Delapan

Usai film pertama, mereka langsung nyambung lagi dengan film berikutnya. Film kedua ini bercerita tentang dua orang cewek yang dikerjai delapan cowok di sebuah bengkel mobil. Kedua cewek itu datang ke bengkel dengan tujuan untuk mereparasi mobil yang mereka bawa. Ternyata disana mereka harus melayani nafsu binal kedelapan montir ganteng dan kekar-kekar itu. Yuda merasa sangat terangsang melihat cewek-cewek itu dientot rame-rame oleh kedelapan cowok itu. Kontolnya yang sudah mengeras sangat ingin untuk segera mengeluarkan sperma. Biasanya sambil nonton film porno di kamarnya di Makassar, Yuda ngocok. Tapi kali ini tentu saja tak mungkin. Untuk pura-pura ke kamar atau kamar mandi buat ngocok tentu saja dia merasa malu. Dilihatnya keempat teman barunya itu santai-santai saja melihat adegan mesum di layar televisi. Yuda memang belum pernah mengentot dengan siapapun. Paling-paling untuk menumpahkan spermanya dilakukannya dengan ngocok di kamarnya atau di kamar mandi. “Duh jadi pengen ngocok nih,” tiba-tiba Stefanus nyeletuk. “Gue juga,” sambung Ivan. “Ke kamar dulu ah. Mau ngocok,” kata Stefanus. Teman-temannya tertawa. “Ngapain di kamar sih. Disini aja. Kok mesti malu sih. Cowok semua kan. Sama-sama punya kontol,” kata Darwin. “Iya juga ya. Ya udah deh disini aja,” Stefanus tanpa malu-malu langsung mengeluarkan kontolnya dari balik celana pendeknya. Mata Yuda langsung melotot melihat kontol Stefanus yang hitam dan besar seperti Pisang Ambon itu. Dengan santai si Ambon menggenggam batang itu kemudian mengocoknya, sambil matanya tetap menatap layar televisi. Ivan kemudian mendekati Stefanus. Duduk disebelah cowok itu, iapun kemudian mulai mengocok batang kontolnya sendiri. “Gak ikutan Yud?” tanya Ali. Yuda hanya menggeleng. Ia benar-benar tak percaya melihat teman-teman barunya yang sepertinya baik-baik itu ternyata tak malu-malu ngocok di depan orang. Tiba-tiba Darwin mendekatinya. Tubuh kekar cowok ganteng itu sangat rapat pada tubuh Yuda. “Kok malu-malu sih Yud. Keluarin aja. Atau perlu gue bantu,” katanya. Tangan Darwin langsung meremas tonjolan kontol Yuda yang tercetak membesar di selangkangannya. Di dekatnya, dilihatnya Ali juga sudah mulai mengocok kontolnya sendiri. Bibirnya tersenyum pada Yuda. “Ayo Yud,” katanya kemudian. Yuda berusaha menyingkirkan tangan Darwin dari selangkangannya. Namun cowok berotot itu tak memperdulikan. Dengan paksa ditariknya celana pendek Yuda sehingga kontol besar milik cowok ganteng itu menyembul ke luar. “Win, jangan,” kata Yuda. Tangannya menepis tangan Darwin yang mulai menggenggam kontolnya yang besar dan kemerahan itu. Namun Darwin tak peduli. Dengan lembut diremasnya kontol Yuda. “Jangan menolak. Entar gue patahin nih kontol,” jawab Darwin dingin. Yuda mengkeret juga mendengar ancaman Darwin. Meskipun tak rela, akhirnya Yuda membiarkan Darwin memainkan kontolnya. Tangan Darwin yang menggenggam batang kontolnya kemudian bergerak naik turun mengocok batang kontol milik cowok Makassar itu. “Kontol lo bagus ya Yud, besar dan merah. Merahnya kayak kontol gue deh. Liat nih,” tangan Darwin yang satu lagi langsung mengeluarkan kontolnya sendiri. Kontol yang besar dengan kepalanya yang mirip jamur, besar dan merah. Batangnya gemuk dan berurat. Yuda terperangah melihatnya. Ia sudah pernah melihat kontol Darwin saat masih tidur, rupanya kalau sudah bangun kontol Darwin benar-benar dahsyat bentuknya. Yuda kemudian melirik ke arah Ivan dan Stefanus. Mata Yuda terbelalak melihat apa yang dilakukan oleh kedua cowok ganteng itu. Didepan matanya dilihatnya Stefanus sedang asik menjilat-jilat kepala kontol Ivan yang besar. Sementara Ivan merem melek sambil terus mengocok kontol Stefanus. Ivan tak menyangka Stefanus mau melakukan itu pada Ivan. “Kenapa Yud? Mau digituin juga?” tanya Darwin. Yuda menggeleng lemah. “Enak kok. Coba aja. Ali sini lo. Jilat nih pala kontol Yuda,” perintah Darwin pada Ali. Si ganteng Ali kemudian mendekati Yuda. Dengan tersenyum dipandanginya wajah Yuda. Sesaat kemudian kepalanya sudah menyusup ke selangkangan Yuda. Lidahnya tanpa permisi segera menjilati celah lobang kencing Yuda yang sudah basah oleh precum. “Ohh..,” desah Yuda tanpa sadar. Kepala kontolnya terasa hangat dan basah oleh lidah Ali. “Enak kan Yud?” bisik Darwin di telinganya. Kurang ajarnya lagi, Darwin menggelitik daun telinga Yuda dengan ujung lidahnya. Kontan saja cowok yang baru lulus SMU itu menggelinjang. Yuda pengen melawan, dan melepaskan dirinya dari kedua cowok itu. Namun saat ini ia benar-benar terangsang hebat. Tak pernah ia merasakan lidahnya dijilati seperti itu sebelumnya. Ditambah lagi dengan kocokan tangan Darwin pada batang kontolnya dan jilatan-jilatan Darwin pada telinganya. Tubuhnya menggeliat. Bulu kuduknya dirasakannya berdiri. Ia tak sanggup menahan gairahnya yang bangkit menggelora. Gairahnya mengalahkan akal sehatnya. Selama ini ia tak pernah merasa memiliki penyimpangan dalam orientasi seksual. Yuda tak pernah merasa terangsang secara seksual pada laki-laki. Saat melihat cowok-cowok itu hanya bercelana dalam saja ke kamar mandi ia tak merasa tertarik. Saat melihat cowok-cowqok itu mandi bareng telanjang bulat ia merasa jengah. Namun ternyata saat ini, ia terangsang hebat oleh perlakuan kedua cowok itu padanya. Kontolnya mengeras dan berdenyut-denyut dalam genggaman Darwin dan jilatan lidah Ali. Diantara rangsangan yang dialaminya, Yuda merasa bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Kedua cowok itu terus mengerjai Yuda. Sementara itu Ivan dan Stefanus malah semakin meningkatkan aktifitas mereka. Keduanya sudah telanjang bulat dan saling menjilat kontol temannya. Mereka melakukan 69 diatas karpet. Suara kecipak dari mulut mereka terdengar keras. Keduanya rupanya sedang asik melakukan seruputan batang kontol. Diselengkangannya, Ali semakin agresif memuluti batang kontol Yuda. Batang kontol Yuda asik dikulum dan dihisapnya. Darwin tak lagi melakukan kocokan pada kontolnya. Tangan cowok itu bergerilya meremas pahanya, sambil mulutnya asik menetek di dada Yuda yang sudah telanjang. Kaos yang dipakai oleh Yuda tadi sudah dilepaskan Darwin. Dan Yuda rela saja ditelanjangi oleh cowok ganteng itu. Kelakuan Ali semakin binal. Paha Yuda kini dikuaknya lebar-lebar. Mulut dan lidahnya menyerbu buah pelir Yuda. Dan yang lebih nakal lagi sesekali lidahnya menjilat dan menyedot celah pantat Yuda. Cowok Makassar itu benar-benar keenakan. Ia belum pernah ngentot dengan siapapun. Diperlakukan Ali seperti itu tentu saja membuatnya tergila-gila. Apa yang dilakukan Ali padanya tak dihiraukannya lagi. Termasuk saat cowok asal Magelang itu mulai menyodok-nyodok celah lobang pantatnya dengan jari. Saat Ali berkonsentrasi di daerah celah pantat dan buah pelir Yuda, Darwin menggantikan posisi Ali memuluti batang kontol Yuda. Cowok ganteng yang sangat jantan itu dengan lahap menghisap batang kontol Yuda. Tanpa ragu atau merasa jengah melakukannya pada makhluk yang sama-sama sejenis dengannya. Darwin sangat menikmati kontol Yuda yang besar dalam mulutnya. Saking seriusnya memuluti batang Yuda tak diperdulikannya lagi ludahnya yang sudah membanjir, meleleh dari batang besar itu.

Sembilan

“Van, entot gua dong,” tiba-tiba terdengar Stefanus ngomong dalam desahannya. Seperti tadi, Yuda kembali kaget. Tak disangkanya pergumulan para cowok ganteng dan jantan ini akan sampai ke sana juga. Dikiranya tadi para cowok ini hanya sekadar saling membantu mengeluarkan sperma dengan melakukan kocokan kontol atau melumat kontol temannya. Rupanya tak hanya itu. rupanya tempat kos para homo. Tempat para cowok bermain cinta dengan sejenisnya. Pantas saja dalam selebaran pengumuman kos mereka terdapat kata-kata dijamin bebas dari narkoba en pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswi. Rupanya mereka melakukan pergaulan bebas tidak dengan mahasiswi disini. Tapi dengan sesama mahasiswa. Cowok bercinta dengan cowok. Tak perlu cewek disini. Lalu mengapa tadi mereka mengaku ngapel ke tempat ceweknya pada Yuda tadi? Apakah itu hanya sekadar kebohongan semata? Yuda tak tahu jawabnya. Yang pasti saat ini Yuda sedang menungging pasrah di lantai dengan bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Dibelakangnya Ali sibuk menjilati lobang pantatnya. Sementara dibawahnya Darwin terus menyelomoti batang kontolnya. Tepat dibawah muka Yuda, paha mulus dan berotot milik Darwin mengangkang lebar. Kontol besarnya berdiri tegak bergoyang-goyang. Berkali-kali Yuda melirik batang besar segeda timun itu. Ia merasa tergoda untuk merasakan batang itu dalam mulutnya. Namun perasaan jengahnya masih ada. Ia masih merasa aneh bila kontol milik cowok lain masuk ke dalam mulutnya. Akhirnya dibiarkannya saja kontol itu tetap mengacung tegak disana. Diantara merem meleknya ia masih sempat memandangi Ivan dan Stefanus yang kini sedang asik bersenggama melalui anus. Duduk diatas pangkuan Ivan yang juga duduk di sofa, dengan penuh semangat Stefanus menggoyangkan pantatnya naik turun dengan cepat dan keras. Mengeluar masukkan kontol Ivan yang sebesar terong dalam lobang pantatnya yang penuh bulu itu. Yuda benar-benar tak percaya, kontol Ivan yang sebesar terong itu bisa masuk seluruhnya dalam celah lobang pantat Stefanus yang sempit. Dalam pandangan Yuda, sepertinya Stefanus sangat menikmati entotan kontol Ivan dalam lobang pantatnya itu. Erangan-erangannya menunjukkan ia sangat keenakan saat Ivan yang memeluk pinggangnya dengan erat itu menggoyang-goyangkan pantatnya membalas goyangan Stefanus. Selangkangan Stefanus yang meski hitam namun mulus itu terlihat sangat kontras dengan batang kontol dan selangkangan Ivan, si Arab, yang putih mulus berbulu lebat itu. Racauan Stefanus dan Ivan diantara erangan mereka, menjawab pertanyaan Yuda tentang cowok-cowok itu. “Gimanah Vanhh. Enakhh.. sshhh…,” kata Stefanus. “Ouhh… enak banget. Ahhh… ahhhh..,” “Enak mana sama memek Fanny, cewek elo? Ohhh…,” “Enak ini dong… ahhh… lebih sempit. Lebih njepit…shhh… lebih keras cengkeramannyahhh.. ouhhhh… ada kontol ama pelernya lagihhh… ihhh… gue kocok nih kontol elohhh… ohhh..,” racau Ivan. Ternyata mereka ini bukan homo tulen rupanya. Penghuni ini rupanya rombongan cowok biseks, yang bisa menikmati memek cewek tapi lebih doyan silit cowok yang memang lebih menjepit dan memiliki kemampuan mencengkeram.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Paman Tukang Sayur

Orangnya gede besar, item, potongan rambutnya mirip Tukul tapi mukanya lebih baguslah dari Tukul hehehe. Gagah sekali saat dia menunggangi motor RX King-nya itu. Dari kejauhan sudah terdengar keras suara motornya yang dipacunya dengan jantan dengan suara klakson yang menjerit-jerit. Ugh, walau agak urak-urakan dan -ehm- dekil, aku suka cowok seperti ini ketimbang cowok manis, perlente, rapi dan girly.
Hampir tiap hari aku melihatnya melewati komplek kami ini dan tidak jarang pula aku sering ‘ketemu’ muka dengan dia. Dan sering kali pula dia mengangguk hormat dan tersenyum kecil kepadaku dan aku membalasnya serupa. Namun, tak pernah sekalipun aku berniat membeli sesuatu dari keranjang sayurnya itu. Palingan aku penasaran ama ‘terong berbulu’ dalam celananya itu. Ugh, aku hanya bisa curi-curi pandang ke arah selangkangannya.
Hari itu, aku iseng nongkrong di bengkel motor temanku. Biasalah aku asyik denger cerita tentang pengalaman seksnya tadi malam baik ama bininya maupun ama PSK idolanya itu. Aku tertawa-tawa mendengar celotehnya, vulgar dan tentu saja tanpa sensor. Detil sekali dia bercerita. Maklumlah, isi celananya aja sudah pernah aku rasakan walau harus merogoh kocek tapi ga terlalu dalam kok. Orangnya sih kecil-kecil aja tapi ‘anu’nya, ehm, luar biasa ukurannya. Namanya juga orang Madura, percaya atau tidak, beberapa cowok dari etnis ini yang kukenal memiliki senjata yang luar biasa.
Selang beberpa menit, muncul si tukang sayur menuntun RX King-nya itu. Wah, bergetar jiwaku melihatnya. Baru kali ini aku bakal melihatnya dekat. Oh, jantan dan gagah sekali lelaki itu. Dia melihatku dan nampaknya dia mengenalku. Dilemparnya senyum kecil yang kubalas dengan ramah. Sayangnya, dia cuman sebentar saja berada di bengkel itu. Motornya yang bocor itu ditinggalkannya.
“Itu yang tukang sayur itu toh?” tanyaku sama si Madura.
“Ya, namanya Supri”
Oh, baru aku tahu namanya.
“Gagah jantan….” ucapku vulgar di depan si Madura. Dia terkekeh sambil membuka ban motor itu.
“Kamu mau ama dia ya?”. Akh, ga perlu aku jawab-pun dia sudah tahu isi otakku.
“Nanti aku bilang ama dia” kata si Madura, “aku akrab kok ama dia tapi aku ga tahu apa dia mau apa ga ya…”
“Ehm…..”
“Tenang aja, “janjinya, “Nanti aku urus. Aku tahu kok dia itu sering kekurangan duit soalnya duit dia itu habis-habisan buat judi ama main cewek hehehe…”
“Ya udah…” ujarku, “aku pulang dulu. Tolong nanti ngomong ama dia ya.. Kasih aja nomor aku”
“Sep.. “tukasnya, “tapi ada persenan kan buat aku?”
“Ya.. Tenang aja klo masalah itu”
Besok harinya, aku mendapat SMS dari nomor baru. Kubaca isinya dan membuatku berdebar. SMS itu dari Supri, tukang sayur jantan itu. Isinya sih dia mau aja aku kerjain asalkan cocok dengan pembayarannya. Ehm, aku segera membalas SMS itu dan isinya menyanggupi permintaannya. Tak lupa pula, aku menanyakan ‘waktu pelaksanaan’nya. Hihihi.. Sayangnya, SMS-ku itu tidak dibalasnya lagi. Aku berusaha menelponnya tapi tidak dia angkat. Huh, membuatku sedikit kesal seakan dipermainkan.
Malam harinya, aku mendapat SMS lagi dari Supri. Isinya tambah membuatku berdebar. Dia ada waktu buatku malam ini. Aku-pun ‘mengundangnya’ ke rumahku. Setelah itu, aku mempersiapkan koleksi bokepku. Sengaja kupilih yang hot hot biar dia lekas horny.
Jantungku berdetak kencang, suara motornya membahana memasuki pekarangan rumahku. Dan, kudengar ketukan di pintu rumahku. Segera aku bukakan untuknya. Oh, Supri berdiri di depanku dengan gayanya yang seperti biasa, selenge’an, jantan, gagah dan apa adanya. Membuatku ga sabar rasanya menelanjanginya. Kupersilakan dia masuk dan cepat-cepat aku tutup pintu.
“Mau nonton dulu?” tawarku sambil memperlihatkan beberapa bokep di hadapannya.
“boleh…”
Setengah jam, aku belum berani macam-macam. Dia lebih banyak diam. Tapi, dia pasti tahu aku jelalatan memperhatikannya yang sedang berbaring terlentang di depan TV.
“sekarang?” tanyanya.
“Ugh…. Ehm…” aku gelagapan menjawabnya sambil memperhatikannya yang sedang mengusap-usap selangkangannya itu. Duh, aku ga sabar rasanya.
Kudekati dia dan kuusap selangkangannya. Dia diam saja sambil terus memperhatikan TV. Aku Segera aku gantikan tangannya dengan tanganku yang kemudian mengusap-usap selangkangannya itu. Jelas aku gemas sekali. Kuremas-remas pelan selangkangan yang masih di bungkus celana kain itu. Bisa kurasakan kemaluannya lagi tegang.
“ehm.. Bisa ga lampunya dimatiin?” pintanya saat jariku mulai menarik risluting celananya.
Aku bangkit dan menekan tombol off pada stop kontak. Seketika ruangan itu gelap. Hanya cahaya raemang-remang dari TV yag sedang menayangkan bokep dari DVD playerku. Aku mendekatinya. Dan ternyata dia sudah mempelorot celananya hingga sepaha. Nampak olehku CD murahan bewarna coklat muda masih melekat di pangkal pahanya.
“wah, udah nantang nih” celutukku.
Aku pelorot lagi celananya hingga terlepas dari kedua kakinya. Kini perhatianku kian besar terhadap gundukan di dalam CDnya itu. Kuremas gemas gundukan itu, ugh, lumayan juga punya dia. Aku berbaring di sampingnya. Lalu kususpkan tangan kananku ke balik CD nya dengan gugup. Supri diam saja bahkan cuek saat tanganku merogoh di dalam sana.
Oh.. Kutemukan bulu-bulu keriting yang lebat di pangkalnya. Tanganku bergerilya meremas batangnya. Ugh, ga terlalu panjang tapi besar juga. Dan, kusingkap CD itu. Mencuatlah rudal kebanggaan Supri. Terkungkung dalam genggaman tanganku. Kuperhatikan rudalnya item, agak berurat-urat. Jantan sekali rudalnya. Hangat dan hampir mengeras penuh.
“Wah… Pasti cewek-cewek teriak keenakan ditusuk ama ini” pujiku. Dia tertawa kecil. Dan tiba-tiba dia menggelinjang ketika jariku menyentuh telor puyuh di bawah sana.
“Telornya gede mas. Pasti isinya banyak”
Aku bangkit. Tak sabar lagi aku mulai menjilati biji pelernya itu. Aroma kejantanannya menusuk hidungku namun justru aku tambah semangat. Kujilati telor item berbulu itu dengan rakus. Supri menggelinjang-gelinjang dan napasnya ngos-ngosan. Tak kubuang kesempatan itu. Kusedot-sedot bergantian kedua bola rudal yang gede item itu. Supri menyentak-nyentak kecil kakinya. Nampaknya dia sangat terangsang saat telornya aku permainkan. Kepala rudalnya itu basah dengan cairan precum.
Puas membasahi bola-bola itu, lidahku bergerak ke atas. Ujung lidahku menelusuri urat-urat yang banyak melingkar di batang rudal itu. Lagi-lagi, Supri menggeliat sambil mendesah. Sejenak aku menghentikan aksiku.
“Enak ya??”
Supri tersenyum, nampak malu-malu. Ugh, dibalik sikap selenge’en dan gagah itu dia bisa malu juga hehehe.
“Pasti belum pernah ya seperti ini?”
“iya”
“katanya sering main cewek???”
“Kan langsung tancap gas….”
“Ama bini di rumah gimana?” korekku, “masa ga pernah sekalipun dijilatin??”
“Ga mau dianya….”
Aku kembali fokus pada rudal yang keras itu.

Kepala rudal Supri nampak membesar dan mengkilat membuatku menjulurkan lidahku. Kusapu lembut ujungnya dengan lidahku yang hangat itu. Kugelitiki lubang kecil yang ada di atasnya. Oh, dia menggelinjang lagi. Kurasakan lidahku menyentuh cairan bening yang keluar dari lubang itu. Bukannya jijik tapi aku malah tambah semangat menjilati cairan precumnya itu.
“Mas, basah banget nih mas”
Supri tidak banyak bicara dan akupun tanpa banyak bicara, aku buka mulutku. Bibirkupun menyentuh kepala rudal yang seakan membiru mengkilat itu. Perlahan batang itu masuk ke dalam mulutku. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya bibirku bertemu dengan hutan lebat yang menutupi pangkalnya. Ya, punya dia ga lebih dari 13cm tapi diameternya lumayan membuatku kesulitan. Kutarik lagi kepalaku hingga bibirku melepas sebagian batang kejantanan Supri hingga kepalanya. Kemudian aku dorong lagi kepalaku ke depan berulang-ulang. Kusentakan kepalaku mendadak hingga rudalnya itu melesak cepat dalam mulutku. Supri melenguh pelan..
Kusedot-sedot dengan penuh nafsu rudal Supri. Lidahku bergerak-gerak menggelitik di dalam sana. Membuat Supri tampak blingsatan. Berkali-kali tubuhnya bergetar hebat. Berkali-kali pantatnya terangkat-angkat. Seolah-olah menyambut mulutku yang dengan ganas mengulum rudalnya.
“Akhh…. ku.. mau… keluar”
Aku kian bersemangat saja. Kupercepat gerakan mulutku pada rudalnya, sementara itu tangan kananku memegang pangkal rudalnya. Sedangkan tangan kiriku meremas-remas kedua telornya yang besar itu…
“Akhhh…….”
Supri mendesah agak keras dan tubuhnya menggelijang-gelinjang liar serta bergetar hebat mana kala rudalnya menyemprotkan mani hangat dalam mulutku.
Crot… crottt.. crott…
Kubenamkan rudalnya itu ke dalam mulutku dalam-dalam saat rudal itu menembakkan ‘racun maut’nya. Cairan itu membanjiri mulutku. Ada yang tertelan, ada yang meleleh keluar, namun lebih banyak yang tertampung di mulutku. Aku sedot-sedot lagi dengan nafsu. Supri nampak terengah-engah.
“duh…. Enak banget…..” celutuknya.
Aku tertawa tertahan karena mulutku masih mengulum rudal itu. Aneh sekali, rudalnya masih tegak berdiri walau sehabis memuntahkan amunisinya. Saat kulepas rudal itu dari mulutku, aku melihatnya masih keras. Setelah kubersihan rudal itu dengan tisu, cepat-cepat aku ke kamar mandi dan memuntahkan sebagian spermanya dari mulutku. Setelah berkumur-kumur sebentar kembali aku mendekatinya yang masih terbaring terlentang dengan ,ya ampun, rudal yang masih keras.
“Wah mas, hebat betul terongmu” celutukku, “Udah nembak masih keras nih”
Supri tertawa. Dengan gemas aku remas lagi batang itu.
“Kok cepat banget sih mas keluarnya??”
“Kuluman kamu enak banget”
“Tapi, terongmu ini masih keras. Aku jadi pengen lagi”
Tanpa menunggu reaksinya terong berbulu itu aku jilati lagi dan lagi aku permainkan dalam mulutku.
“Biasanya klo yang kedua ini pasti lama” celutuknya
“Oh ya??”
Ugh, bikin cape aja ntar, pikirku. Tapi, aku masih ingin menikmati rudal Supri yang asyik ini. Sisa-sisa sperma masih terasa di batangnya apalagi di bagian lubangnya itu. Benar-benar rudal yang joss. Keras dan tegang di dalam mulutku. Kulumat-lumat gemas sampe ke pangkalnya yang berbulu lebat. Ehm, seiring itu kurasakan denyut-denyut di lubangku menginginkan dimasuki rudal itu.
“Mas, mau ga ngentotin pantatku?”
Supri nampak kaget. Mungkin dia tidak mengira aku akan memintanya seperti itu.
“aku belum pernah mas” katanya.
“Coba aja mas. Siapa tahu suka” rayuku sambil meremas-remas rudal hangat yang masih keras itu.
Supri tidak menjawab tapi dia tersenyum penuh arti. Aku bangkit dan kemudian kembali dengan membawa sebotol pelicin.
“Maukan mas? Aku pengen merasakan rudal mas di dalam sini” rengekku.
Supri mengangguk membuatku merasa sangat kegirangan. Kutanggalkan celana pendekku dan hanya mengenakan celana dalam saja. Sementara itu, aku memintanya untuk melepas baju yang masih dikenakannya. Duh, aku makin bergairah. Badannya yang bagus berotot alami itu membuatku kian tidak sabar.
Kuraih batang rudal Supri. Ehm, aku kulum lagi sesaat sebelum aku olesin dengan pelicin itu. Supri mendesis menikmati kulumanku. Lalu, tangan kananku dengan lincah melumurin rudalnya dengan pelicin dan dengan nakalnya aku kocok-kocok pelan membuat Supri kembali mendesis.
“Entot aku mas” pintaku seraya membelakanginya. Aku mengambil posisi menungging dengan bertumpuan pada kedua lutut dan kedua tanganku. Kupelorot bagian belakang celana dalamku lalu Supri mengambil posisi di belakangku dengan bertumpuan pada kedua kakinya. Kutuntun rudalnya ke bibir lubang anusku yang sudah aku lumuri pula dengan pelicin itu.
“Dorong pelan-pelan mas….” desahku. Hatiku gak dag dig dug saat merasakan kepala rudalnya menempel tepat di bibir boolku.
Kurasakan ada sesuatu yang berusaha memasuki lubangku. Aku melenguh dan merem melek. Supri memang belum pernah memasuki lubang sempit itu. Agak kesulitan baginya memasukkan rudalnya itu karena dia memang sepertinya belum terbiasa. Namun, sebuah hentakan pantatnya membuat kepala rudal itu melesak masuk.
“Mas… Akh… Pelan-pelan….”
Aku mengerang pelan. Supri nampak belum mengerti bahwa lubangku beda dengan lubang wanita. Dia nampak sangat bernafsu sekali memasukkan rudalnya. Semakin kesulitan, dia nampak semakin bersemangat .
“Masss…..”
Aku mengerang saat rudal Supri tiba-tiba melesak sedemikian dalamnya. Kurasakan barang rudal itu hampir semuanya masuk.
“Ugh…” Supri melenguh jantan sambil terus mendorong rudalnya ke dalam pantatku. Oh, kurasakan bulu-bulunya menempel di pantatku.
“Mas… Jangan ditarik dulu… Biarin terbenam dulu… “ rintihku. Namun, Supri nampak tidak sabar. Agak canggung dia menarik pantatnya mundur hingga rudal itu sedikit demi sedikit keluar dari lubangku. Namun, baru separo kembali dia benamkan. Aku melenguh-lenguh. Kenikmatan mulai menjalar dalam diriku. Gerakan rudal Supri mulai lancar dan bertambah cepat tanpa irama. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa dengan lubangku yang memang jarang dimasukin rudal itu.
“Akhhhh……..”
Tiba-tiba Supri mendesah, gerakannya semakin cepat dan menghentak-hentak membuat aku yang dalam posisi nungging itu terdorong-dorong ke depan.  Untungnya bongkah pantatku dipegangnya erat hingga akju tidak sampai jatuh ke depan.
“Mas…. “ desahku merasakan hentakan rudal Supri.
“Akh…. Akh…..”
Blesss….. Tiba-tiba paman sayur langganan ibu-ibu komplek itu memekik sambil membenamkan rudalnya dalam-dalam ke lubang pantatku. Kurasakan denyutan keras di dalam sana. Lalu ada sesuatu yang hangat membanjirinya. Napas Supri terengah-engah dan memburu seusai memuntahkan spermanya di dalam pantatku.
“Katanya lama mas???” sindirku, “buktinya cepat kok keluarnya”
“Duh, enak banget lubang pantat ya… Keset dan mencengkram”
Aku terkekeh senang. Kurasakan rudal Supri mulai mengecil di dalam sana. Kugerak-gerakan pinggulku membuat rudal Supri bergerak-gerak dalam sana. Supri memegang pantatku dengan gemas lalu ditariknya rudal belepotan cairan itu.
Aku bergegas berbalik menghadapnya. Laki-laki itu menyulut rokoknya dan kemudian berbaring terlentang dengan rudal terkulai lemas dan mengecil. Aku gemas melihat rudal berbulu lebat itu. Aku remas lagi. Supri hanya diam saja sambil menoton TV.
Setelah kembali mengenakan pakaian, aku memberikan dia sejumlah uang yang sudah aku janjikan sebelumnya. Dia namapk senang menerimanya. Saat aku berseloroh klo aku kepengen merasakan rudalnya lagi kapan-kapan dia tertawa kecil dan katanya asal harganya cocok.
Ugh, sampai kini aku telah ‘merasakan’ rudalnya beberapa kali. Kadang dia yang minta, kadang aku yang lagi kepengen. Tapi, aku musti selalu sediakan uang setiap ‘kencan’ dengannya. Bahkan pernah suatu hari saat dia berkeliling komplek dengan motor jantannya itu, dia sempatkan diri menikmatin oralanku dan tentu saja dia lagi perlu duit, Huh.. Duit duit…

TAMAT
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Kereta Terakhir

Kereta terakhir - Jumat malam, pertama kalinya aku bertemu dengannya, di commuter line rute Jakarta-Bogor. Saat itu baru pertama kalinya aku mencoba naik kereta dari Jakarta menuju Bogor. Kereta lengang, di deretan tempat dudukku hanya ada aku saja dan seorang ibu tua di depan deretan tempat dudukku. Aku duduk di dekat pintu, dan di stasiun pasar minggu dia masuk lalu bertanya ramah padaku,”Tempat duduk sebelah kosong?”. Sekilas kulihat ke arahnya, dan hanya kubalas dengan anggukan kepala.
Jepang. Ya dia orang jepang. Mungkin agak susah membedakan orang china, korea, atau jepang. Tapi aku yakin betul, dia orang jepang. Walaupun lafal bahasa indonesianya sangatlah fasih terdengar. Dan mataku tidak bisa berbohong, dia rupawan. Dengan alis tebal, bibir merah, hidung mancung, dan tubuh ramping modalnya untuk memikat para wanita bahkan pria-pria penyuka pria sudah sangat mencukupi. Tapi aku tidak mau ambil pusing waktu itu. Tujuan utamaku sekarang adalah Bogor.
Selama beberapa menit kita terdiam. Dia hanya duduk di sebelahku dengan sesekali bermain-main dengan telepon genggamnya. Sedangkan aku, aku sibuk membaca arahan dari temanku tentang stasiun-stasiun yang akan dilalui dalam perjalanan menuju bogor, yang dituliskannya di secarik kertas.
“Pertama kali naik kereta?”, tanyanya sambil tersenyum kecil.
“Ngga..”, jawabku singkat. Ini memang bukan pertama kalinya aku naik kereta. Aku pernah naik kereta kelinci di pasar malam setiap rabu malam sewaktu aku kecil. Jadi ini merupakan suatu pembenaran bahwa ini bukan pertama kalinya aku naik kereta.
“That..?”, tanyanya sembari menunjuk ke arah secarik kertas yang aku pegang sedari tadi.
“Oh… it’s nothing. Just some guidline”, jawabku.
“Aahh, I see… Are you working?”, lanjutnya bertanya.
“Me? Ehmm.. yeah.”, jawabku malas. It’s awkward. I mean it feels awkward. This is the moment that I actually really dislikes when meeting with new person. Conversation. I hate doin it with stranger. Just feel uncomfy about it.
“Well I’m on JB**. And you?”, lanjutnya.
“Bank of In*******…”, jawabku seketika. Aku orang yang tidak bisa berbohong atau menutupi kepura-puraan dengan baik. Sehingga saat ditanya, aku lebih memilih untuk menjawab jujur dari pada harus capek-capek mencari muka.
“Ooh, B*. Kita punya counterpart di sana”, balasnya.
“Aaa..”, jawabku mengiyakan. Aku memang pernah melihat pintu suatu ruangan berlogo JB** saat rapat di gedung sebelah tempatku bekerja. Mungkin yang dia maksudkan itu.
“Pulang ke rumah?”, lanjutnya bertanya.
What’s this. Kenapa dia tidak capek bertanya. Lagipula jawaban yang aku berikan sangat singkat yang menandakan aku sedang malas untuk sekadar mengobrol atau mengobrol dengannya.
“I live in Jakarta”, jawabku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Aku di Bogor...”, jawabnya singkat dengan nada mengambang yang menandakan bahwa dia paham lawan bicaranya sedang tidak dalam kondisi baik untuk diajak bicara.

**************************************************************************

Stasiun Citayam. Kita masih sama-sama hening dalam diam.
Aku gelisah, kenapa waktu terasa berjalan begitu lama. Sekilas kulihat kertas yang kupegang, tinggal beberapa stasiun lagi menuju bogor. Kuperhatikan dia merogoh-rogoh tas nya dan mengeluarkan sebatang coklat yang aku tau betul coklat itu tidak dijual di Indonesia. Perlahan dia buka bungkusnya, dan dia sodorkan kepadaku. Aku sempat heran dengan apa yang dia lakukan. Dengan perlakuan yang baru saja aku berikan, seharusnya dia sudah tidak berkewajiban untuk bersikap manis lagi di depanku.
“Katanya coklat bisa menenangkan hati dan pikiran kalut”, ujarnya sambil tersenyum.
Aku bingung. Di satu sisi aku belum sempat makan malam sedari tadi. Di sisi lain, pikiran kalut? Apa yang dimaksudkannya? Kenapa dia repot-repot menerka-nerka.
“Just keep it”, balasku padanya.
“But you seem like you need it”, lanjutnya memaksa.
“Sir, I don’t know you. So just don’t try to be nice to me”, jawabku. OK, aku tau sekarang aku sudah mulai keterlaluan dengan melarang seseorang memberikan perlakuan yang menyenangkan kepadaku. Seharusnya aku senang. But meeen, you know lah, di jaman kayak gini gitu… orang yang baik pasti ada maunya.
Dia masukkan kembali coklat itu ke dalam tas nya. Dan lagi-lagi dia hanya tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit pahit. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik senyum itu.
Dan kami pun kembali dalam diam. Aku sedikit merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan tadi. Tidak seharusnya aku bersikap tidak menyenangkan kepada orang yang berusaha untuk ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Guilty! I am selfish.
“Well, I’m … sorry”, ujarku singkat. Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Kata yang sangat jarang aku ucapkan bahkan untuk mengatakan ‘terima kasih’.
“I am gay. And I just broke up with my boyfriend”, balasnya cepat.
Aku tersontak. Apa yang baru saja dia katakan sungguh tidak bisa masuk akal. How can he say that? I’m not even his friend and why he tell me such a confidential matter. Oh God, now I feel like a shit.
Diam. Sejenak di antara kami hanya ada diam. Aku mencoba beripikir kata apa yang seharusnya aku ucapkan. Tapi di saat-saat seperti ini kadang pikiran tidak seharusnya dijalankan. Akhirnya aku memilih untuk sedikit bijak…
“Hati itu kayak batang singkong. Kadang perlu dipatahkan, biar bisa hidup dan tumbuh lagi kemudian hari”, jawabku.
Dia terperangah seketika. Mungkin terkesima dengan apa yang baru saja aku katakan. Matanya sedikit berkaca-kaca melihatku. Tapi kemudian dia menoleh ke arah lain. Aku tidak bisa untuk tidak menatapnya. Paras rupawan dihiasi kesedihan. Di sudut matanya kulihat sedikit linangan air mata. Disekanya dengan ujung jari sambil menghela nafas panjang. Terlihat jelas beban yang dia tanggung.
“Di stasiun tadi, terakhir kali dia mengantarku...”, balasnya kemudian, masih menatap jauh ke luar.
“Dan di stasiun tadi kamu putuskan untuk masuk, dan melangkah meninggalkannya”, jawabku. Mencoba menenangkannya.
Senyum pahit kembali terlihat di wajahnya. Senyum yang penuh dengan kepedihan.

**************************************************************************

Stasiun Bojonggede. Beberapa orang mulai keluar dari gerbong yang kami tumpangi. Dia terdiam. Namun raut mukanya mulai lebih tenang. Tapi dia tetap saja menghela napas panjang.
“Coklat.. Kita bagi dua dan kita makan sama-sama. Well, if you still wanna share it”, seruku tiba-tiba memecah lamunannya.
Lagi-lagi dia tersenyum. Dia keluarkan lagi coklat tadi dari tasnya. Dan kami memakannya sama-sama.
“Does it work?”, tanyanya tiba-tiba.
“What?”, balasku bertanya.
“The chocolate, does it calm you after you eat it. Could it calm you after you lose the game?”, lanjutnya dengan melihat coklat yang dipegangnya.
Semua orang pernah jatuh cinta dan pernah patah hati. Aku pribadi memang termasuk jarang jatuh cinta dan jarang juga patah hati. Namun cinta bukan sesuatu yang layak untuk dimainkan. Atau lebih tepatnya terlalu kejam jika kita hanya berniat bermain-main dengan hati seseorang. It’s too harsh, meen.
“You never lose the game, coz it’s not a game for you”, ujarku yang sontak membuat dia melihat ke arahku lagi.
He’s handsome. Too handsome I think to being hurt like that.
“So what’s this?”, lanjutnya bertanya. Raut mukanya masih menunjukkan kekecewaan mendalam.
“Ini suatu perjuangan. Kamu pernah memperjuangkannya. Setidaknya, sebuah perjuangan layak untuk dikenang”, jawabku tanpa pikir panjang.
Senyum lebar seketika menghiasi parasnya, ada tawa renyah terdengar di balik senyum itu. Matanya terlihat semakin sipit saat dia tertawa.
“You’re right… Are you gay?”, tanyanya.
“You better ask me first about that before you blurt it out the case. No, I’m not. And I’m sorry.”, jawabku.
“It’s ok. It would be nice if I have you as my boyfriend”, ujarnya dengan tatapan menggoda. Ya, dia tampan.
“For now? No. Your heart is still there, although the love was hurt”, jawabku seketika.
“Hahaha.. Iya, hatiku masih tertinggal di sana”, balasnya mengambang.
“Cintaku masih untuknya, meski dia akan mendapat penggantiku segera. Yang mungkin akan menjadi pendamping hidupnya selamanya. Salahku dari awal, membiarkannya menjalani dua hubungan. Salahku dari awal terlalu mencintainya. Salahku dari awal kenapa harus dia yang aku cinta.”, lanjutnya menerawang jauh ke belakang.
Aku menatapnya, dan tanpa tersadar aku pun turut larut dalam perasaanya saat ini.
“Cinta tidak salah. Mungkin dia datang kepada orang yang salah, atau mungkin di waktu yang salah. Tapi, cinta tidak salah.”, jawabku. Aku berusaha sesantai mungkin mengahadapi perasaannya saat ini. Masih kumakan sedikit demi sedikit coklat yang tadi diberikannya. Tapi ini salah, coklat tidak juga membuatku menjadi tenang.
Pikiranku … masih tertuju pada wanita yang aku pacari sejak 2 tahun lalu. Masih kuingat senyumnya beberapa bulan lalu ketika kami menghabiskan waktu bersama di Jakarta. Merdu suaranya saat dia bisikkan lelucon konyolnya di telingaku. Manis kecup bibirnya di kala pertama aku rasakan ketika diriku tebaring lemah karena demam berdarah. Dan beberapa jam lalu, melalui pesan singkat dia ucapkan kata pisah. Dia memintaku untuk pasrah karena hatinya telah berpindah.

**************************************************************************

Keheningan malam - Stasiun Cilebut. Dua lelaki yang patah hati duduk berdua, menerawang jauh ke belakang saat-saat kebersamaan yang dulu menyambut. Di luar malam semakin malam. Tinggal menunggu menit, aku akan sampai di sana.
“Cinta itu memang suatu perjuangan. Sekarang bukannya aku tidak mau berjuang. Karena cinta itu tidak butuh paksaan bukan?”, ujarnya tiba-tiba memecah keheningan.
Aku tersontak. Seolah aku tersadar karena ucapannya. Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dipaksakan, termasuk perasaan. Kenapa aku harus memaksakan kalau aku tau pasti bahwa hasilnya akan tetap bertepuk sebelah tangan.
“Ya, itu benar dan sekaligus menyakitkan. Dan rasa sakit itu juga bagian dari perasaan kan. Paling tidak kita masih punya yang namanya perasaan. Hahaha…”, jawabku dengan tawa.
Kami pun tertawa bersama-sama. Menertawakan perasaan. Menertawakan nasib. Pantaskah takdir ditertawakan jika untuk memilihnya saja kita tidak diberi kesempatan?

**************************************************************************

Stasiun Bogor. Pemberhentian kereta terakhir. Haruskah di sini juga aku labuhkan perahu yang selama ini berlayar. Haruskah aku berlari menembus hujan gerimis di jalanan kota. Datang ke rumahnya dan memohon kembali cintanya …
Dia berdiri dan melihatku yang masih saja duduk.
“Kamu ngga turun?”, tanyanya.
“Haruskah?”. Aku malah balik bertanya padanya. Pertanyaan yang semestinya aku tau jawabannya.
“Kalau ini bukan tujuan akhirmu, kembalilah. Dan putuskan dimana kamu akan berhenti nanti.”, balasnya tersenyum. Kali ini kulihat senyumnya yang tanpa beban di balik wajahnya yang jelas terlihat lelah dan matanya yang sembab.
“Thanks”, balasku.
Dia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama. Kartu namanya. Dan memberikannya padaku.
“Just do things that make you happy. I’ll do that too, even indeed it’s bittersweet.”, ujarnya.
Dia melambaikan tangannya, tersenyum dan menatapku untuk yang terakhir kalinya, lalu turun dari pintu kereta. Meninggalkanku sendiri, di kereta terakhir menuju Jakarta.
Karena cinta aku mengejarnya. Karena aku mengejarnya, aku lelah. Dan karena aku lelah, mungkin ini saat yang tepat untuk aku kembali, ke Jakarta.



Tinggal kau, lalu aku. Dan hati kita segera kosong seperti
stasiun ini. Rel beku, gerbong sunyi. Bahkan menyentuh
lenganmu saja aku tak berani. Adakah wajah selain wajah
kita di sini? Bulan pucat, wajah kita terpantul asing di
ujung peron. Pepohon berjajar dalam bayang remang.
Dingin, bisikmu. Aku mendengarnya seperti lagu lirih
menembus lembut gendangku. Merayap seperti kabut di
kepalaku, kabut yang dingin. Musim tak selalu ramah.
Entah mana yang lebih menakutkan. Ketakmampuanku
melukis garis malam atau aku yang meradang membaca
matamu?
Betapa nyanyi serangga, bulan pucat, dan perempuan,
bersekutu mereka memasung malam. Tawang yang sepi,
Tawang yang nglangut. Meski padanya telah terekam
beribu cerita. Duka bahagia, jangan tanyakan lagi. Tak
usah bersenandung cinta di sini, katamu. Sebab terlalu
banyak onggokan luka dan ceceran derita. Ah, padahal
aku berharap, cinta dapatlah menghapus nestapa.
Setiap persinggahan mencatat sisa tanya. Pun di sini.
Kereta datang dan pergi. Kisahpun bertumpuk. Telah
penuh lantai dinding atap stasiun dengan roman segala
abad. Kau temukan dirimu di sini? Seekor serangga
menabrak tiang lampu jalan. Kita terhenyak. Sungguh
waktu dan kita telah saling memburu.
Deru kereta seperti masih ada. Kereta yang melintas
di selasar hati. Tetap saja sunyi. Berpuluh pena telah
patah di tengah, teriris senyum di sudut bibir. Sungguh,
memuisikanmu sama sulitnya dengan menerka adakah
seseorang di stasiun berikut yang menunggu sepi seperti
kita? Tetap saja sunyi. Bangku-bangku, tiang, dan loket
telah tertidur.
Ingin kutembangkan Asmaradana, tapi nanti kau terpejam.
Barangkali jaman telah memutus, biarlah, di setiap
persinggahan selalu ada yang bermekaran. Tak ada yang
kekal. Seperti lamunan kita yang terbuyar ketika suara
itu mengirim pesan, dan sorot lampu yang membelah
kabut di kejauhan. Kereta terakhir. Seperti pertanda,
akankah kisah berakhir? Tak perlu dipercakapkan. Berikan
dekapan terhangat. Juga butir airmata penghabisan, yang
masih bisa kuusap.
(Kereta Terakhir - Y. Wibisono)

**************************************************************************

Stasiun Gambir. Satu tahun kemudian.

Aku duduk di salah satu kedai kopi di dalam stasiun. Terlalu sederhana sebenarnya kalau aku sebut kedai, tapi memang kenyataanya ini tetap saja kedai. Aku baca lagi pesan singkatnya yang dikirimkannya pagi tadi, dia akan kembali bertugas di Indonesia setelah beberapa bulan menetap di India. Sedang aku beberapa minggu lagi akan ke Swiss untuk short course beberapa bulan. Namun sebulan yang lalu - dimana berawal dari dua orang di kereta yang sama-sama patah hati, berlanjut dengan saling berkirim pesan di online media - akhirnya kita putuskan untuk menjalin hubungan bersama.
Ketika aku bertanya, masihkah dia mengingat kekasihnya dulu. Dia memberikan jawaban yang membuatku membuka hatiku lagi untuk mencintai seseorang.
‘Sudahlah ... mungkin dia hanya sebagian dari masa laluku, penghias sebagian kecil dari hidupku, sebagai pelajaran tetang “cinta” yang masih dini aku rasakan, sebagai bagian dari sesuatu yang disebut perasaan. Biarlah, dan tetaplah seperti itu adanya...’
Bus DAMRI yang dia tumpangi dari bandara belum juga tiba. Kuhirup lagi aroma kopi panasku. Bagiku kopi lebih menenangkan dari pada coklat. Walaupun sebagian besar orang mengatakan kopi malah membuat berdebar, syaraf tegang, adrenalin meningkat. Tapi bagiku, kopi punya cita rasa sendiri. Simpelnya, pahit manis. Bisa kita rasakan manisnya, namun tetap masih tersisa rasa pahitnya. Begitu juga perasaan, kita tidak akan bisa bersyukur merasakan manisnya bahagia kalau kita belum merasakan seperti apa pahitnya nestapa. Dan biarlah pahit itu tetap ada.
Aku memesan satu cangkir kopi lagi. Aku ingin tanya pendapatnya nanti tentang kopi, setibanya dia di sini. Which is better, coklat atau kopi.

*************************************************************************

*Penulis adalah seorang yang cakep, baik hati, lagi seneng dengerin payphone, dan baru aja single.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Terbang


Sepi...

psstt

Aku mulai memfokuskan pada pendengaran telingaku!
Lolongan serigala kelaparan dan suara jangkrik malam mulai kusingkirkan dari pendengaranku.
Bukan ini yang ingin kudengar!
Derap langkah!

Iya... Semakin mendekat.

Dua orang, bukan!
Empat. Ehm... Semakin banyak?
Lima? Tujuh?

Tiga belas!!!
Campuran derap langkah yang begitu riuh terdengar jelas dan semakin jelas.
Kuukurkan dengan pendengaranku.

Tiga hutan. Iya, mereka berjarak tiga hutan dari sini..
Tumpul! Penciumanku tumpul!
Aku tidak merasakan dan menghirup aroma apapun dari mereka!
Darah kehidupan?
Tidak!

Aroma kematian dan wangi mawar perak membalut penciumanku.
Siapa mereka?

Tunggu!
Ada aroma darah segar yang dapat kuhirup!
Semakin dekat...
Tiga? Iya.. Tiga sosok berbau darah segar ini!

Ahhhh.... Mataku mulai gelap!
Darahku berdesir kencang...

Sembunyi.. Aku harus sembunyi.
Mereka bertiga sangat dekat!

Itu mereka!
Arrrgghhh mengapa gerombolan tiga belas makhluk kematian tadi mengejar mereka bertiga?
Cepat! Aku harus cepat.

Siapa cepat.. Dia dapat. Bukan dia! Tapi aku!!!!

Happpp...
Sekejap mata aku merasakan darah segar mengalir masuk dalam tubuhku.
Mengalir melalui taring-taring tajam ini merasuki setiap pembuluh darahku, memberi kekuatan dan...
Arrrgghhhh.. Nikmat!

"Hmmmm...!" Hembusan kekesalan terdengar sangat dekat sekarang.
Aku menoleh ke arah hembusan itu.
Berdiri di hadapanku saat ini. Mereka bertiga belas.
Dengan mata penuh amarah dan dahaga melihat aku menikmati ketiga tubuh fana yang telah kuhabiskan darahnya.

Gagah, kokoh dan bertelanjang dada. Mereka bertiga belas dengan kostum sama dan mempertontonkan taring tajam mereka.
Mereka mengharapkan makananku! Menreka menginginkan darah fana yang telah kuhabiskan!

Secepat kilat kedua tanganku terikat di antara pohon dengan rantai perak berlapiskan vervain... Akhhh.. Kulitku terasa terbakar.
Mereka mulai melepas amarahnya padaku.
Dan...
Aku...
================

Aku terbangun.
Itu semua hanya mimpi?
Mimpi burukkah?

Aku tetap terikat.
Mana pakaianku?

Sluurrpphh.. Suara ini...
Arggghhh... Kenapa begitu nikmat?

Aku memandang diriku tergantung dengan kedua tangan terikat di sebuah tiang.
Itu semua hanya mimpi. Aku bukanlah sosok kematian yang menghisap darah.
Dan mereka bertiga belas bukanlah sosok yang sama.
Mereka bergantian... Menikmati permainan... mengulum kemaluanku.
Arrggghhh.. ikmat sekali.

"Heyyy! Dia sudah sadar!" Salah seorang dari gerombolan itu berseru sambil menunjuk ke arahku.
"Aku dimana? Siapa kalian?"

"DIAM!!!"
"Arrrgggghhhh....." Aku mengerang kesakitan saat seonggok besi dimasukkan dalam lubang anusku.

Aku merasa perutku sangat ngilu. Argghh.. Ini benar - benar menyakitkan!

Ikatan tanganku tiba - tiba dilepaskan.
Aku terjatuh tertelungkup. Dan mereka segera...

"Awwwwwwwwwwww.....!!!!! Arrrggggggghhhhhhh!!!!!!!!!!"
Semakin menyakitkan saat besi itu dilepaskan dari dalam lubang anusku secara paksa.

Dan tiba - tiba..
Ahhhhhh...
Aku merasakan salah satu dari mereka menusukkan kemaluannya dalam lubang anusku.
Bergilir. Dengan tawa terbahak-bahak mereka menyodomiku.
Dan apa?
Arrggghhh... Mereka memasukkannya bersama-sama sekaligus secara berkelompok tiga orang...
Tiga kemaluan dalam satu lubang anusku... Terasa darah mengalir dari lubang ku.

Aku menangis,
Semakin kumenangis dan mengerang kesakitan. Semakin mereka bersemangat.

Aku tidak mengerti sudah berapa jam hal ini terjadi. Aku merasa seperti seharian aku menjadi budak seks mereka.
Sudah berapa kali cairan sperma memasuki diriku dan tubuhku dikencingi.
Seluruh tubuhku lengket oleh cairan sperma dan berkilau karena kencing mereka yang melumuri tubuhku.
Aku... Lemas dan ...
-----

Sayup-sayup kudengar suara langkah kaki mendekatiku.
Hanya satu yang bisa kuucapkan dari bibirku... "tolong..."
Sepasang kaki berdiri tepat di hadapanku. Kegelapan malam ini menyamarkan pandanganku akan apa yang ada di hadapanku saat ini, Entah kaki siapa itu. Aku melihatnya membungkukkan badan dan..

Dimana aku sekarang?
apakah aku sudah mati?
Tempat apa ini?
Aku merasa diriku berhembus.
Ahhh... Aku bergerak secara bebas, ringan.
Dan tanpa arah, terkadang bisa menuju ke arah tertentu.
Angin?
Tubuhku? Ahhh.. Aku tak melihat tubuhku..

Mungkin inilah aku sekarang.. Angin...
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati