Kereta terakhir - Jumat malam, pertama
kalinya aku bertemu dengannya, di commuter line rute Jakarta-Bogor. Saat
itu baru pertama kalinya aku mencoba naik kereta dari Jakarta menuju
Bogor. Kereta lengang, di deretan tempat dudukku hanya ada aku saja dan
seorang ibu tua di depan deretan tempat dudukku. Aku duduk di dekat
pintu, dan di stasiun pasar minggu dia masuk lalu bertanya ramah padaku,”Tempat duduk sebelah kosong?”. Sekilas kulihat ke arahnya, dan hanya kubalas dengan anggukan kepala.
Jepang. Ya dia orang jepang. Mungkin agak susah membedakan orang china, korea, atau jepang. Tapi aku yakin betul, dia orang jepang. Walaupun lafal bahasa indonesianya sangatlah fasih terdengar. Dan mataku tidak bisa berbohong, dia rupawan. Dengan alis tebal, bibir merah, hidung mancung, dan tubuh ramping modalnya untuk memikat para wanita bahkan pria-pria penyuka pria sudah sangat mencukupi. Tapi aku tidak mau ambil pusing waktu itu. Tujuan utamaku sekarang adalah Bogor.
Selama beberapa menit kita terdiam. Dia hanya duduk di sebelahku dengan sesekali bermain-main dengan telepon genggamnya. Sedangkan aku, aku sibuk membaca arahan dari temanku tentang stasiun-stasiun yang akan dilalui dalam perjalanan menuju bogor, yang dituliskannya di secarik kertas.
“Pertama kali naik kereta?”, tanyanya sambil tersenyum kecil.
“Ngga..”, jawabku singkat. Ini memang bukan pertama kalinya aku naik kereta. Aku pernah naik kereta kelinci di pasar malam setiap rabu malam sewaktu aku kecil. Jadi ini merupakan suatu pembenaran bahwa ini bukan pertama kalinya aku naik kereta.
“That..?”, tanyanya sembari menunjuk ke arah secarik kertas yang aku pegang sedari tadi.
“Oh… it’s nothing. Just some guidline”, jawabku.
“Aahh, I see… Are you working?”, lanjutnya bertanya.
“Me? Ehmm.. yeah.”, jawabku malas. It’s awkward. I mean it feels awkward. This is the moment that I actually really dislikes when meeting with new person. Conversation. I hate doin it with stranger. Just feel uncomfy about it.
“Well I’m on JB**. And you?”, lanjutnya.
“Bank of In*******…”, jawabku seketika. Aku orang yang tidak bisa berbohong atau menutupi kepura-puraan dengan baik. Sehingga saat ditanya, aku lebih memilih untuk menjawab jujur dari pada harus capek-capek mencari muka.
“Ooh, B*. Kita punya counterpart di sana”, balasnya.
“Aaa..”, jawabku mengiyakan. Aku memang pernah melihat pintu suatu ruangan berlogo JB** saat rapat di gedung sebelah tempatku bekerja. Mungkin yang dia maksudkan itu.
“Pulang ke rumah?”, lanjutnya bertanya.
What’s this. Kenapa dia tidak capek bertanya. Lagipula jawaban yang aku berikan sangat singkat yang menandakan aku sedang malas untuk sekadar mengobrol atau mengobrol dengannya.
“I live in Jakarta”, jawabku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Aku di Bogor...”, jawabnya singkat dengan nada mengambang yang menandakan bahwa dia paham lawan bicaranya sedang tidak dalam kondisi baik untuk diajak bicara.
**************************************************************************
Stasiun Citayam. Kita masih sama-sama hening dalam diam.
Aku gelisah, kenapa waktu terasa berjalan begitu lama. Sekilas kulihat kertas yang kupegang, tinggal beberapa stasiun lagi menuju bogor. Kuperhatikan dia merogoh-rogoh tas nya dan mengeluarkan sebatang coklat yang aku tau betul coklat itu tidak dijual di Indonesia. Perlahan dia buka bungkusnya, dan dia sodorkan kepadaku. Aku sempat heran dengan apa yang dia lakukan. Dengan perlakuan yang baru saja aku berikan, seharusnya dia sudah tidak berkewajiban untuk bersikap manis lagi di depanku.
“Katanya coklat bisa menenangkan hati dan pikiran kalut”, ujarnya sambil tersenyum.
Aku bingung. Di satu sisi aku belum sempat makan malam sedari tadi. Di sisi lain, pikiran kalut? Apa yang dimaksudkannya? Kenapa dia repot-repot menerka-nerka.
“Just keep it”, balasku padanya.
“But you seem like you need it”, lanjutnya memaksa.
“Sir, I don’t know you. So just don’t try to be nice to me”, jawabku. OK, aku tau sekarang aku sudah mulai keterlaluan dengan melarang seseorang memberikan perlakuan yang menyenangkan kepadaku. Seharusnya aku senang. But meeen, you know lah, di jaman kayak gini gitu… orang yang baik pasti ada maunya.
Dia masukkan kembali coklat itu ke dalam tas nya. Dan lagi-lagi dia hanya tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit pahit. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik senyum itu.
Dan kami pun kembali dalam diam. Aku sedikit merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan tadi. Tidak seharusnya aku bersikap tidak menyenangkan kepada orang yang berusaha untuk ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Guilty! I am selfish.
“Well, I’m … sorry”, ujarku singkat. Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Kata yang sangat jarang aku ucapkan bahkan untuk mengatakan ‘terima kasih’.
“I am gay. And I just broke up with my boyfriend”, balasnya cepat.
Aku tersontak. Apa yang baru saja dia katakan sungguh tidak bisa masuk akal. How can he say that? I’m not even his friend and why he tell me such a confidential matter. Oh God, now I feel like a shit.
Diam. Sejenak di antara kami hanya ada diam. Aku mencoba beripikir kata apa yang seharusnya aku ucapkan. Tapi di saat-saat seperti ini kadang pikiran tidak seharusnya dijalankan. Akhirnya aku memilih untuk sedikit bijak…
“Hati itu kayak batang singkong. Kadang perlu dipatahkan, biar bisa hidup dan tumbuh lagi kemudian hari”, jawabku.
Dia terperangah seketika. Mungkin terkesima dengan apa yang baru saja aku katakan. Matanya sedikit berkaca-kaca melihatku. Tapi kemudian dia menoleh ke arah lain. Aku tidak bisa untuk tidak menatapnya. Paras rupawan dihiasi kesedihan. Di sudut matanya kulihat sedikit linangan air mata. Disekanya dengan ujung jari sambil menghela nafas panjang. Terlihat jelas beban yang dia tanggung.
“Di stasiun tadi, terakhir kali dia mengantarku...”, balasnya kemudian, masih menatap jauh ke luar.
“Dan di stasiun tadi kamu putuskan untuk masuk, dan melangkah meninggalkannya”, jawabku. Mencoba menenangkannya.
Senyum pahit kembali terlihat di wajahnya. Senyum yang penuh dengan kepedihan.
**************************************************************************
Stasiun Bojonggede. Beberapa orang mulai keluar dari gerbong yang kami tumpangi. Dia terdiam. Namun raut mukanya mulai lebih tenang. Tapi dia tetap saja menghela napas panjang.
“Coklat.. Kita bagi dua dan kita makan sama-sama. Well, if you still wanna share it”, seruku tiba-tiba memecah lamunannya.
Lagi-lagi dia tersenyum. Dia keluarkan lagi coklat tadi dari tasnya. Dan kami memakannya sama-sama.
“Does it work?”, tanyanya tiba-tiba.
“What?”, balasku bertanya.
“The chocolate, does it calm you after you eat it. Could it calm you after you lose the game?”, lanjutnya dengan melihat coklat yang dipegangnya.
Semua orang pernah jatuh cinta dan pernah patah hati. Aku pribadi memang termasuk jarang jatuh cinta dan jarang juga patah hati. Namun cinta bukan sesuatu yang layak untuk dimainkan. Atau lebih tepatnya terlalu kejam jika kita hanya berniat bermain-main dengan hati seseorang. It’s too harsh, meen.
“You never lose the game, coz it’s not a game for you”, ujarku yang sontak membuat dia melihat ke arahku lagi.
He’s handsome. Too handsome I think to being hurt like that.
“So what’s this?”, lanjutnya bertanya. Raut mukanya masih menunjukkan kekecewaan mendalam.
“Ini suatu perjuangan. Kamu pernah memperjuangkannya. Setidaknya, sebuah perjuangan layak untuk dikenang”, jawabku tanpa pikir panjang.
Senyum lebar seketika menghiasi parasnya, ada tawa renyah terdengar di balik senyum itu. Matanya terlihat semakin sipit saat dia tertawa.
“You’re right… Are you gay?”, tanyanya.
“You better ask me first about that before you blurt it out the case. No, I’m not. And I’m sorry.”, jawabku.
“It’s ok. It would be nice if I have you as my boyfriend”, ujarnya dengan tatapan menggoda. Ya, dia tampan.
“For now? No. Your heart is still there, although the love was hurt”, jawabku seketika.
“Hahaha.. Iya, hatiku masih tertinggal di sana”, balasnya mengambang.
“Cintaku masih untuknya, meski dia akan mendapat penggantiku segera. Yang mungkin akan menjadi pendamping hidupnya selamanya. Salahku dari awal, membiarkannya menjalani dua hubungan. Salahku dari awal terlalu mencintainya. Salahku dari awal kenapa harus dia yang aku cinta.”, lanjutnya menerawang jauh ke belakang.
Aku menatapnya, dan tanpa tersadar aku pun turut larut dalam perasaanya saat ini.
“Cinta tidak salah. Mungkin dia datang kepada orang yang salah, atau mungkin di waktu yang salah. Tapi, cinta tidak salah.”, jawabku. Aku berusaha sesantai mungkin mengahadapi perasaannya saat ini. Masih kumakan sedikit demi sedikit coklat yang tadi diberikannya. Tapi ini salah, coklat tidak juga membuatku menjadi tenang.
Pikiranku … masih tertuju pada wanita yang aku pacari sejak 2 tahun lalu. Masih kuingat senyumnya beberapa bulan lalu ketika kami menghabiskan waktu bersama di Jakarta. Merdu suaranya saat dia bisikkan lelucon konyolnya di telingaku. Manis kecup bibirnya di kala pertama aku rasakan ketika diriku tebaring lemah karena demam berdarah. Dan beberapa jam lalu, melalui pesan singkat dia ucapkan kata pisah. Dia memintaku untuk pasrah karena hatinya telah berpindah.
**************************************************************************
Keheningan malam - Stasiun Cilebut. Dua lelaki yang patah hati duduk berdua, menerawang jauh ke belakang saat-saat kebersamaan yang dulu menyambut. Di luar malam semakin malam. Tinggal menunggu menit, aku akan sampai di sana.
“Cinta itu memang suatu perjuangan. Sekarang bukannya aku tidak mau berjuang. Karena cinta itu tidak butuh paksaan bukan?”, ujarnya tiba-tiba memecah keheningan.
Aku tersontak. Seolah aku tersadar karena ucapannya. Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dipaksakan, termasuk perasaan. Kenapa aku harus memaksakan kalau aku tau pasti bahwa hasilnya akan tetap bertepuk sebelah tangan.
“Ya, itu benar dan sekaligus menyakitkan. Dan rasa sakit itu juga bagian dari perasaan kan. Paling tidak kita masih punya yang namanya perasaan. Hahaha…”, jawabku dengan tawa.
Kami pun tertawa bersama-sama. Menertawakan perasaan. Menertawakan nasib. Pantaskah takdir ditertawakan jika untuk memilihnya saja kita tidak diberi kesempatan?
**************************************************************************
Stasiun Bogor. Pemberhentian kereta terakhir. Haruskah di sini juga aku labuhkan perahu yang selama ini berlayar. Haruskah aku berlari menembus hujan gerimis di jalanan kota. Datang ke rumahnya dan memohon kembali cintanya …
Dia berdiri dan melihatku yang masih saja duduk.
“Kamu ngga turun?”, tanyanya.
“Haruskah?”. Aku malah balik bertanya padanya. Pertanyaan yang semestinya aku tau jawabannya.
“Kalau ini bukan tujuan akhirmu, kembalilah. Dan putuskan dimana kamu akan berhenti nanti.”, balasnya tersenyum. Kali ini kulihat senyumnya yang tanpa beban di balik wajahnya yang jelas terlihat lelah dan matanya yang sembab.
“Thanks”, balasku.
Dia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama. Kartu namanya. Dan memberikannya padaku.
“Just do things that make you happy. I’ll do that too, even indeed it’s bittersweet.”, ujarnya.
Dia melambaikan tangannya, tersenyum dan menatapku untuk yang terakhir kalinya, lalu turun dari pintu kereta. Meninggalkanku sendiri, di kereta terakhir menuju Jakarta.
Karena cinta aku mengejarnya. Karena aku mengejarnya, aku lelah. Dan karena aku lelah, mungkin ini saat yang tepat untuk aku kembali, ke Jakarta.
Tinggal kau, lalu aku. Dan hati kita segera kosong seperti
stasiun ini. Rel beku, gerbong sunyi. Bahkan menyentuh
lenganmu saja aku tak berani. Adakah wajah selain wajah
kita di sini? Bulan pucat, wajah kita terpantul asing di
ujung peron. Pepohon berjajar dalam bayang remang.
Dingin, bisikmu. Aku mendengarnya seperti lagu lirih
menembus lembut gendangku. Merayap seperti kabut di
kepalaku, kabut yang dingin. Musim tak selalu ramah.
Entah mana yang lebih menakutkan. Ketakmampuanku
melukis garis malam atau aku yang meradang membaca
matamu?
Betapa nyanyi serangga, bulan pucat, dan perempuan,
bersekutu mereka memasung malam. Tawang yang sepi,
Tawang yang nglangut. Meski padanya telah terekam
beribu cerita. Duka bahagia, jangan tanyakan lagi. Tak
usah bersenandung cinta di sini, katamu. Sebab terlalu
banyak onggokan luka dan ceceran derita. Ah, padahal
aku berharap, cinta dapatlah menghapus nestapa.
Setiap persinggahan mencatat sisa tanya. Pun di sini.
Kereta datang dan pergi. Kisahpun bertumpuk. Telah
penuh lantai dinding atap stasiun dengan roman segala
abad. Kau temukan dirimu di sini? Seekor serangga
menabrak tiang lampu jalan. Kita terhenyak. Sungguh
waktu dan kita telah saling memburu.
Deru kereta seperti masih ada. Kereta yang melintas
di selasar hati. Tetap saja sunyi. Berpuluh pena telah
patah di tengah, teriris senyum di sudut bibir. Sungguh,
memuisikanmu sama sulitnya dengan menerka adakah
seseorang di stasiun berikut yang menunggu sepi seperti
kita? Tetap saja sunyi. Bangku-bangku, tiang, dan loket
telah tertidur.
Ingin kutembangkan Asmaradana, tapi nanti kau terpejam.
Barangkali jaman telah memutus, biarlah, di setiap
persinggahan selalu ada yang bermekaran. Tak ada yang
kekal. Seperti lamunan kita yang terbuyar ketika suara
itu mengirim pesan, dan sorot lampu yang membelah
kabut di kejauhan. Kereta terakhir. Seperti pertanda,
akankah kisah berakhir? Tak perlu dipercakapkan. Berikan
dekapan terhangat. Juga butir airmata penghabisan, yang
masih bisa kuusap.
(Kereta Terakhir - Y. Wibisono)
**************************************************************************
Stasiun Gambir. Satu tahun kemudian.
Aku duduk di salah satu kedai kopi di dalam stasiun. Terlalu sederhana sebenarnya kalau aku sebut kedai, tapi memang kenyataanya ini tetap saja kedai. Aku baca lagi pesan singkatnya yang dikirimkannya pagi tadi, dia akan kembali bertugas di Indonesia setelah beberapa bulan menetap di India. Sedang aku beberapa minggu lagi akan ke Swiss untuk short course beberapa bulan. Namun sebulan yang lalu - dimana berawal dari dua orang di kereta yang sama-sama patah hati, berlanjut dengan saling berkirim pesan di online media - akhirnya kita putuskan untuk menjalin hubungan bersama.
Ketika aku bertanya, masihkah dia mengingat kekasihnya dulu. Dia memberikan jawaban yang membuatku membuka hatiku lagi untuk mencintai seseorang.
‘Sudahlah ... mungkin dia hanya sebagian dari masa laluku, penghias sebagian kecil dari hidupku, sebagai pelajaran tetang “cinta” yang masih dini aku rasakan, sebagai bagian dari sesuatu yang disebut perasaan. Biarlah, dan tetaplah seperti itu adanya...’
Bus DAMRI yang dia tumpangi dari bandara belum juga tiba. Kuhirup lagi aroma kopi panasku. Bagiku kopi lebih menenangkan dari pada coklat. Walaupun sebagian besar orang mengatakan kopi malah membuat berdebar, syaraf tegang, adrenalin meningkat. Tapi bagiku, kopi punya cita rasa sendiri. Simpelnya, pahit manis. Bisa kita rasakan manisnya, namun tetap masih tersisa rasa pahitnya. Begitu juga perasaan, kita tidak akan bisa bersyukur merasakan manisnya bahagia kalau kita belum merasakan seperti apa pahitnya nestapa. Dan biarlah pahit itu tetap ada.
Aku memesan satu cangkir kopi lagi. Aku ingin tanya pendapatnya nanti tentang kopi, setibanya dia di sini. Which is better, coklat atau kopi.
*************************************************************************
*Penulis adalah seorang yang cakep, baik hati, lagi seneng dengerin payphone, dan baru aja single.
Jepang. Ya dia orang jepang. Mungkin agak susah membedakan orang china, korea, atau jepang. Tapi aku yakin betul, dia orang jepang. Walaupun lafal bahasa indonesianya sangatlah fasih terdengar. Dan mataku tidak bisa berbohong, dia rupawan. Dengan alis tebal, bibir merah, hidung mancung, dan tubuh ramping modalnya untuk memikat para wanita bahkan pria-pria penyuka pria sudah sangat mencukupi. Tapi aku tidak mau ambil pusing waktu itu. Tujuan utamaku sekarang adalah Bogor.
Selama beberapa menit kita terdiam. Dia hanya duduk di sebelahku dengan sesekali bermain-main dengan telepon genggamnya. Sedangkan aku, aku sibuk membaca arahan dari temanku tentang stasiun-stasiun yang akan dilalui dalam perjalanan menuju bogor, yang dituliskannya di secarik kertas.
“Pertama kali naik kereta?”, tanyanya sambil tersenyum kecil.
“Ngga..”, jawabku singkat. Ini memang bukan pertama kalinya aku naik kereta. Aku pernah naik kereta kelinci di pasar malam setiap rabu malam sewaktu aku kecil. Jadi ini merupakan suatu pembenaran bahwa ini bukan pertama kalinya aku naik kereta.
“That..?”, tanyanya sembari menunjuk ke arah secarik kertas yang aku pegang sedari tadi.
“Oh… it’s nothing. Just some guidline”, jawabku.
“Aahh, I see… Are you working?”, lanjutnya bertanya.
“Me? Ehmm.. yeah.”, jawabku malas. It’s awkward. I mean it feels awkward. This is the moment that I actually really dislikes when meeting with new person. Conversation. I hate doin it with stranger. Just feel uncomfy about it.
“Well I’m on JB**. And you?”, lanjutnya.
“Bank of In*******…”, jawabku seketika. Aku orang yang tidak bisa berbohong atau menutupi kepura-puraan dengan baik. Sehingga saat ditanya, aku lebih memilih untuk menjawab jujur dari pada harus capek-capek mencari muka.
“Ooh, B*. Kita punya counterpart di sana”, balasnya.
“Aaa..”, jawabku mengiyakan. Aku memang pernah melihat pintu suatu ruangan berlogo JB** saat rapat di gedung sebelah tempatku bekerja. Mungkin yang dia maksudkan itu.
“Pulang ke rumah?”, lanjutnya bertanya.
What’s this. Kenapa dia tidak capek bertanya. Lagipula jawaban yang aku berikan sangat singkat yang menandakan aku sedang malas untuk sekadar mengobrol atau mengobrol dengannya.
“I live in Jakarta”, jawabku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Aku di Bogor...”, jawabnya singkat dengan nada mengambang yang menandakan bahwa dia paham lawan bicaranya sedang tidak dalam kondisi baik untuk diajak bicara.
**************************************************************************
Stasiun Citayam. Kita masih sama-sama hening dalam diam.
Aku gelisah, kenapa waktu terasa berjalan begitu lama. Sekilas kulihat kertas yang kupegang, tinggal beberapa stasiun lagi menuju bogor. Kuperhatikan dia merogoh-rogoh tas nya dan mengeluarkan sebatang coklat yang aku tau betul coklat itu tidak dijual di Indonesia. Perlahan dia buka bungkusnya, dan dia sodorkan kepadaku. Aku sempat heran dengan apa yang dia lakukan. Dengan perlakuan yang baru saja aku berikan, seharusnya dia sudah tidak berkewajiban untuk bersikap manis lagi di depanku.
“Katanya coklat bisa menenangkan hati dan pikiran kalut”, ujarnya sambil tersenyum.
Aku bingung. Di satu sisi aku belum sempat makan malam sedari tadi. Di sisi lain, pikiran kalut? Apa yang dimaksudkannya? Kenapa dia repot-repot menerka-nerka.
“Just keep it”, balasku padanya.
“But you seem like you need it”, lanjutnya memaksa.
“Sir, I don’t know you. So just don’t try to be nice to me”, jawabku. OK, aku tau sekarang aku sudah mulai keterlaluan dengan melarang seseorang memberikan perlakuan yang menyenangkan kepadaku. Seharusnya aku senang. But meeen, you know lah, di jaman kayak gini gitu… orang yang baik pasti ada maunya.
Dia masukkan kembali coklat itu ke dalam tas nya. Dan lagi-lagi dia hanya tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit pahit. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik senyum itu.
Dan kami pun kembali dalam diam. Aku sedikit merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan tadi. Tidak seharusnya aku bersikap tidak menyenangkan kepada orang yang berusaha untuk ramah kepada orang yang baru dikenalnya. Guilty! I am selfish.
“Well, I’m … sorry”, ujarku singkat. Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Kata yang sangat jarang aku ucapkan bahkan untuk mengatakan ‘terima kasih’.
“I am gay. And I just broke up with my boyfriend”, balasnya cepat.
Aku tersontak. Apa yang baru saja dia katakan sungguh tidak bisa masuk akal. How can he say that? I’m not even his friend and why he tell me such a confidential matter. Oh God, now I feel like a shit.
Diam. Sejenak di antara kami hanya ada diam. Aku mencoba beripikir kata apa yang seharusnya aku ucapkan. Tapi di saat-saat seperti ini kadang pikiran tidak seharusnya dijalankan. Akhirnya aku memilih untuk sedikit bijak…
“Hati itu kayak batang singkong. Kadang perlu dipatahkan, biar bisa hidup dan tumbuh lagi kemudian hari”, jawabku.
Dia terperangah seketika. Mungkin terkesima dengan apa yang baru saja aku katakan. Matanya sedikit berkaca-kaca melihatku. Tapi kemudian dia menoleh ke arah lain. Aku tidak bisa untuk tidak menatapnya. Paras rupawan dihiasi kesedihan. Di sudut matanya kulihat sedikit linangan air mata. Disekanya dengan ujung jari sambil menghela nafas panjang. Terlihat jelas beban yang dia tanggung.
“Di stasiun tadi, terakhir kali dia mengantarku...”, balasnya kemudian, masih menatap jauh ke luar.
“Dan di stasiun tadi kamu putuskan untuk masuk, dan melangkah meninggalkannya”, jawabku. Mencoba menenangkannya.
Senyum pahit kembali terlihat di wajahnya. Senyum yang penuh dengan kepedihan.
**************************************************************************
Stasiun Bojonggede. Beberapa orang mulai keluar dari gerbong yang kami tumpangi. Dia terdiam. Namun raut mukanya mulai lebih tenang. Tapi dia tetap saja menghela napas panjang.
“Coklat.. Kita bagi dua dan kita makan sama-sama. Well, if you still wanna share it”, seruku tiba-tiba memecah lamunannya.
Lagi-lagi dia tersenyum. Dia keluarkan lagi coklat tadi dari tasnya. Dan kami memakannya sama-sama.
“Does it work?”, tanyanya tiba-tiba.
“What?”, balasku bertanya.
“The chocolate, does it calm you after you eat it. Could it calm you after you lose the game?”, lanjutnya dengan melihat coklat yang dipegangnya.
Semua orang pernah jatuh cinta dan pernah patah hati. Aku pribadi memang termasuk jarang jatuh cinta dan jarang juga patah hati. Namun cinta bukan sesuatu yang layak untuk dimainkan. Atau lebih tepatnya terlalu kejam jika kita hanya berniat bermain-main dengan hati seseorang. It’s too harsh, meen.
“You never lose the game, coz it’s not a game for you”, ujarku yang sontak membuat dia melihat ke arahku lagi.
He’s handsome. Too handsome I think to being hurt like that.
“So what’s this?”, lanjutnya bertanya. Raut mukanya masih menunjukkan kekecewaan mendalam.
“Ini suatu perjuangan. Kamu pernah memperjuangkannya. Setidaknya, sebuah perjuangan layak untuk dikenang”, jawabku tanpa pikir panjang.
Senyum lebar seketika menghiasi parasnya, ada tawa renyah terdengar di balik senyum itu. Matanya terlihat semakin sipit saat dia tertawa.
“You’re right… Are you gay?”, tanyanya.
“You better ask me first about that before you blurt it out the case. No, I’m not. And I’m sorry.”, jawabku.
“It’s ok. It would be nice if I have you as my boyfriend”, ujarnya dengan tatapan menggoda. Ya, dia tampan.
“For now? No. Your heart is still there, although the love was hurt”, jawabku seketika.
“Hahaha.. Iya, hatiku masih tertinggal di sana”, balasnya mengambang.
“Cintaku masih untuknya, meski dia akan mendapat penggantiku segera. Yang mungkin akan menjadi pendamping hidupnya selamanya. Salahku dari awal, membiarkannya menjalani dua hubungan. Salahku dari awal terlalu mencintainya. Salahku dari awal kenapa harus dia yang aku cinta.”, lanjutnya menerawang jauh ke belakang.
Aku menatapnya, dan tanpa tersadar aku pun turut larut dalam perasaanya saat ini.
“Cinta tidak salah. Mungkin dia datang kepada orang yang salah, atau mungkin di waktu yang salah. Tapi, cinta tidak salah.”, jawabku. Aku berusaha sesantai mungkin mengahadapi perasaannya saat ini. Masih kumakan sedikit demi sedikit coklat yang tadi diberikannya. Tapi ini salah, coklat tidak juga membuatku menjadi tenang.
Pikiranku … masih tertuju pada wanita yang aku pacari sejak 2 tahun lalu. Masih kuingat senyumnya beberapa bulan lalu ketika kami menghabiskan waktu bersama di Jakarta. Merdu suaranya saat dia bisikkan lelucon konyolnya di telingaku. Manis kecup bibirnya di kala pertama aku rasakan ketika diriku tebaring lemah karena demam berdarah. Dan beberapa jam lalu, melalui pesan singkat dia ucapkan kata pisah. Dia memintaku untuk pasrah karena hatinya telah berpindah.
**************************************************************************
Keheningan malam - Stasiun Cilebut. Dua lelaki yang patah hati duduk berdua, menerawang jauh ke belakang saat-saat kebersamaan yang dulu menyambut. Di luar malam semakin malam. Tinggal menunggu menit, aku akan sampai di sana.
“Cinta itu memang suatu perjuangan. Sekarang bukannya aku tidak mau berjuang. Karena cinta itu tidak butuh paksaan bukan?”, ujarnya tiba-tiba memecah keheningan.
Aku tersontak. Seolah aku tersadar karena ucapannya. Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dipaksakan, termasuk perasaan. Kenapa aku harus memaksakan kalau aku tau pasti bahwa hasilnya akan tetap bertepuk sebelah tangan.
“Ya, itu benar dan sekaligus menyakitkan. Dan rasa sakit itu juga bagian dari perasaan kan. Paling tidak kita masih punya yang namanya perasaan. Hahaha…”, jawabku dengan tawa.
Kami pun tertawa bersama-sama. Menertawakan perasaan. Menertawakan nasib. Pantaskah takdir ditertawakan jika untuk memilihnya saja kita tidak diberi kesempatan?
**************************************************************************
Stasiun Bogor. Pemberhentian kereta terakhir. Haruskah di sini juga aku labuhkan perahu yang selama ini berlayar. Haruskah aku berlari menembus hujan gerimis di jalanan kota. Datang ke rumahnya dan memohon kembali cintanya …
Dia berdiri dan melihatku yang masih saja duduk.
“Kamu ngga turun?”, tanyanya.
“Haruskah?”. Aku malah balik bertanya padanya. Pertanyaan yang semestinya aku tau jawabannya.
“Kalau ini bukan tujuan akhirmu, kembalilah. Dan putuskan dimana kamu akan berhenti nanti.”, balasnya tersenyum. Kali ini kulihat senyumnya yang tanpa beban di balik wajahnya yang jelas terlihat lelah dan matanya yang sembab.
“Thanks”, balasku.
Dia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama. Kartu namanya. Dan memberikannya padaku.
“Just do things that make you happy. I’ll do that too, even indeed it’s bittersweet.”, ujarnya.
Dia melambaikan tangannya, tersenyum dan menatapku untuk yang terakhir kalinya, lalu turun dari pintu kereta. Meninggalkanku sendiri, di kereta terakhir menuju Jakarta.
Karena cinta aku mengejarnya. Karena aku mengejarnya, aku lelah. Dan karena aku lelah, mungkin ini saat yang tepat untuk aku kembali, ke Jakarta.
Tinggal kau, lalu aku. Dan hati kita segera kosong seperti
stasiun ini. Rel beku, gerbong sunyi. Bahkan menyentuh
lenganmu saja aku tak berani. Adakah wajah selain wajah
kita di sini? Bulan pucat, wajah kita terpantul asing di
ujung peron. Pepohon berjajar dalam bayang remang.
Dingin, bisikmu. Aku mendengarnya seperti lagu lirih
menembus lembut gendangku. Merayap seperti kabut di
kepalaku, kabut yang dingin. Musim tak selalu ramah.
Entah mana yang lebih menakutkan. Ketakmampuanku
melukis garis malam atau aku yang meradang membaca
matamu?
Betapa nyanyi serangga, bulan pucat, dan perempuan,
bersekutu mereka memasung malam. Tawang yang sepi,
Tawang yang nglangut. Meski padanya telah terekam
beribu cerita. Duka bahagia, jangan tanyakan lagi. Tak
usah bersenandung cinta di sini, katamu. Sebab terlalu
banyak onggokan luka dan ceceran derita. Ah, padahal
aku berharap, cinta dapatlah menghapus nestapa.
Setiap persinggahan mencatat sisa tanya. Pun di sini.
Kereta datang dan pergi. Kisahpun bertumpuk. Telah
penuh lantai dinding atap stasiun dengan roman segala
abad. Kau temukan dirimu di sini? Seekor serangga
menabrak tiang lampu jalan. Kita terhenyak. Sungguh
waktu dan kita telah saling memburu.
Deru kereta seperti masih ada. Kereta yang melintas
di selasar hati. Tetap saja sunyi. Berpuluh pena telah
patah di tengah, teriris senyum di sudut bibir. Sungguh,
memuisikanmu sama sulitnya dengan menerka adakah
seseorang di stasiun berikut yang menunggu sepi seperti
kita? Tetap saja sunyi. Bangku-bangku, tiang, dan loket
telah tertidur.
Ingin kutembangkan Asmaradana, tapi nanti kau terpejam.
Barangkali jaman telah memutus, biarlah, di setiap
persinggahan selalu ada yang bermekaran. Tak ada yang
kekal. Seperti lamunan kita yang terbuyar ketika suara
itu mengirim pesan, dan sorot lampu yang membelah
kabut di kejauhan. Kereta terakhir. Seperti pertanda,
akankah kisah berakhir? Tak perlu dipercakapkan. Berikan
dekapan terhangat. Juga butir airmata penghabisan, yang
masih bisa kuusap.
(Kereta Terakhir - Y. Wibisono)
**************************************************************************
Stasiun Gambir. Satu tahun kemudian.
Aku duduk di salah satu kedai kopi di dalam stasiun. Terlalu sederhana sebenarnya kalau aku sebut kedai, tapi memang kenyataanya ini tetap saja kedai. Aku baca lagi pesan singkatnya yang dikirimkannya pagi tadi, dia akan kembali bertugas di Indonesia setelah beberapa bulan menetap di India. Sedang aku beberapa minggu lagi akan ke Swiss untuk short course beberapa bulan. Namun sebulan yang lalu - dimana berawal dari dua orang di kereta yang sama-sama patah hati, berlanjut dengan saling berkirim pesan di online media - akhirnya kita putuskan untuk menjalin hubungan bersama.
Ketika aku bertanya, masihkah dia mengingat kekasihnya dulu. Dia memberikan jawaban yang membuatku membuka hatiku lagi untuk mencintai seseorang.
‘Sudahlah ... mungkin dia hanya sebagian dari masa laluku, penghias sebagian kecil dari hidupku, sebagai pelajaran tetang “cinta” yang masih dini aku rasakan, sebagai bagian dari sesuatu yang disebut perasaan. Biarlah, dan tetaplah seperti itu adanya...’
Bus DAMRI yang dia tumpangi dari bandara belum juga tiba. Kuhirup lagi aroma kopi panasku. Bagiku kopi lebih menenangkan dari pada coklat. Walaupun sebagian besar orang mengatakan kopi malah membuat berdebar, syaraf tegang, adrenalin meningkat. Tapi bagiku, kopi punya cita rasa sendiri. Simpelnya, pahit manis. Bisa kita rasakan manisnya, namun tetap masih tersisa rasa pahitnya. Begitu juga perasaan, kita tidak akan bisa bersyukur merasakan manisnya bahagia kalau kita belum merasakan seperti apa pahitnya nestapa. Dan biarlah pahit itu tetap ada.
Aku memesan satu cangkir kopi lagi. Aku ingin tanya pendapatnya nanti tentang kopi, setibanya dia di sini. Which is better, coklat atau kopi.
*************************************************************************
*Penulis adalah seorang yang cakep, baik hati, lagi seneng dengerin payphone, dan baru aja single.
Tags:
Cerita Romantis
what a romantic story......wanna know you better
You might be very romantic, me too but just a litle hahaha... would you be my friend?
kerennn..
Menyenangkan bisa baca cerita ini.. Somehow saya seperti disentil, krn mirip2 dengan apa yg sedang saya alami. :) thanks for your story..
Cerita yg bagus (y)
Membacanya seperti mengalami kisah mngalaminya sndri,dan dri crita di atas bs di petik sebuah mkna dlm mnjlni hidup/cinta.
Keren.......
Strange "water hack" burns 2lbs overnight
At least 160 000 men and women are utilizing a simple and SECRET "liquids hack" to burn 2lbs each and every night as they sleep.
It's effective and works with everybody.
This is how to do it yourself:
1) Get a clear glass and fill it half full
2) Then use this strange HACK
and become 2lbs thinner in the morning!