Naik kelas 2 SMA, hubunganku dengan Raka
mulai merenggang, meskipun kami masih sering ketemu dan kadang-kadang
having sex juga, setidaknya sampai Raka pindah sekolah. Selain bergaul
di sekolah, di rumah pun ada beberapa anak tetangga yang sebaya denganku
dan menjadi temanku. Kami sering ketemu terutama di sore dan malam
hari.
Adalah Alwi, seorang anak tetangga yang akhirnya menjadi akrab denganku. Padahal sebenarnya aku berteman dengan adiknya, si Joni, yang sebaya denganku. Alwi sendiri baru saja tamat SMA dan tidak terus ke perguruan tinggi sebab orangtuanya kurang mampu. Mula-mulanya tidak terlalu dekat denganku, sebab jika aku main ke rumahnya, yang ku cari tentunya adalah si Joni, adikknya. Perawakan Alwi tinggi dan proporsional, berbeda dengan adiknya. Parasnya pun kelihatan jauh lebih keras ketimbang Joni yang tampak imut. Dari seringnya aku main ke rumah mereka, aku tahu bahwa Alwi pintar bermain gitar. Aku sendiri sebenarnya ingin sekali bermain gitar, tapi jariku selalu saja kesakitan jika menekan dawainya. Namun kalau alat musik piano, boleh dibilang aku sangat mahir. Wajar aja, sejak sebelum aku lahir, di rumah telah ada sebuah piano klasik, benda yang sangat disayangi ayahku. Aku belajar piano secara autodidak karena ayahku hampir tidak punya waktu untuk mengajariku, dan aku tidak pernah mau ikut les sebab rasanya terlalu teoritis.
Setiap kali aku ke rumah Joni dan melihat si Alwi bermain gitar, aku jadi terkagum-kagum. Dia sanggup memainkan melody lagu dengan terampil dan artistik. Justru karena aku tidak terlalu pintar bermain gitar, maka aku minta Alwi mengajarkannya kepadaku. Itulah awalnya kami mulai berteman akrab. Lagi pula si Alwi ingin “tukar ilmu” denganku. Aku sering mengajaknya bermain piano di rumah, tentunya saat ayahku sedang keluar, sebab beliau tidak suka ada yang mengutak-atik piano antik itu, kecuali beliau dan aku. Terkadang aku dan Alwi juga suka berduet, aku main piano dan dia main gitar. Hal itu membuat aku makin tertarik padanya, apalagi wajahnya memang ganteng, dan menurutku posturnya sangat sexy. Anyway, yang paling utama membuatku tertarik ialah kepintarannya bermain gitar.
Persahabatanku dengan Alwi makin lama semakin akrab, apalagi ternyata kami sama-sama suka hiking dan mendaki gunung. Justru adiknya, si Joni, tidak punya hobi seperti itu, sehingga akhirnya aku malah akrab dengan kakaknya. Kalau mendaki gunung bersama, Alwi selalu membawa gitarnya. Aku sih ingin juga membawa piano, tapi bagaimana mungkin? Nah, kalau lagi di puncak gunung, Alwi bermain gitar dan aku menyanyi. Salah satu lagu favorit kami ialah “Always Somewhere”. Aku hafal liriknya sehingga tak perlu membawa song book segala.
Suatu hari aku diajak Alwi mendaki gunung. Kami hanya pergi bertiga, aku, Alwi dan seorang temannya lagi yang bernama Edi. Dia bukan tetangga kami, tapi mantan teman sekelas Alwi di SMA. Ketika tengah mendaki, aku sempat tergelincir dan nyaris masuk jurang. Tasku jatuh ke jurang, tapi Alwi dan Edi bisa menyelamatkanku. Kami beristirahat sejenak, lalu terus mendaki sampai ke puncak.
Matahari sudah hampir terbenam saat kami tiba di puncak. Angin dingin behembus cukup kencang, membuat kami merasa lapar. Alwi mengeluarkan bekal makan malam untuk kami bertiga. Malam makin larut, udara dingin mulai menusuk, tapi hembusan angin agak mereda. Tak banyak pendaki gunung lain malam itu, sehingga kami leluasa memilih tempat untuk membuat api unggun kecil. Selama beberapa jam kami bernyanyi bersama di dekat api unggun sambil menghangatkan tubuh. Si Edi yang duluan menyerah, ia segera membuka kantong tidurnya, dan seperti mengacuhkan berisiknya nyanyian kami, hanya dalam beberapa menit dia sudah tertidur. Kira-kira sejam kemudian aku dan Alwi juga memutuskan untuk tidur. Aku sempat bingung juga, sebab kantong tidurku turut jatuh ke jurang bersama tasku. Untunglah Alwi membawa tenda kecil. Memang dia kurang suka memakai kantung tidur. Aku membantu Alwi membuka dan memasang tendanya. Aku merasa tidak enakan juga, sebab tampaknya tenda itu terlalu kecil untuk kami berdua. Namun Alwi dapat ide bagus. Kami tiduran dengan kaki terjulur ke luar tenda. Selimutnya hanya satu, jadi terpaksa kami pakai berdua.
Meskipun sudah beberapa kali kami mendaki bersama, tapi baru sekarang aku tidur setenda dengan Alwi. Aku jadi deg-degan, walau terbungkus jaket dan selimut, Alwi yang terbaring hanya beberapa cm dariku kelihatan sangat menggiurkan di terpa sinar bulan dan cahaya dari sisa-sisa api unggun. Aku gelisah, sulit terlelap, pandanganku tak putus-putusnya ke arah wajah yang tampan dan macho itu.
Lamunanku tiba-tiba buyar ketika Alwi membuka matanya dan menyapa, “Kenapa Ver? Nggak bisa tidur ya? Mungkin kamu kedinginan. Kamu pake sendiri aja selimutnya supaya lebih hangat. Terlalu kecil untuk kita berdua.”
“Oh, nggak usah, aku nggak apa-apa kok. Begini aja udah cukup”, jawabku.
“Oke, kalau begitu kamu mendekat sedikit ke sini, supaya selimutnya muat”, ajak Alwi.
Walaupun aku merasa agak canggung, ku terima tawarannya. Ku geserkan tubuhku mendekatinya, tapi aku terkejut seperti kesetrum ketika Alwi kemudian merangkul tubuhku. Aku tahu Alwi tidak berpikiran macam-macam, sebab dia memang bukan gay. Maksudnya merangkulku ialah supaya aku merasa hangat. Alwi segera meneruskan tidurnya, tetapi aku tidak bisa. Wajahku terlalu dekat dengan wajahnya sehingga hanya dengan satu gerakan kecil saja bibir kami bisa saling bersentuhan. Nafasnya yang memburu namun segar menerpa wajahku, membuat aku menjadi terangsang. Aku jadi gelisah, tapi tidak berani bergerak sedikit pun. Pelukan Alwi bukan hanya memberi kehangatan terhadap tubuhku, tapi juga bathinku. Aku merasa seperti terlindungi.
Malam semakin larut dan akhirnya aku terlelap juga sebab pendakian tadi dan kejadian aku nyaris masuk jurang sudah sangat memeras tenagaku. Menjelang subuh aku terbangun lagi, tubuhku menggigil diserang rasa dingin. Sepertinya tahu aku kedinginan, Alwi mempererat pelukannya. Tanganku terjepit di antara paha kami, tak sengaja menyentuh tonjolan di selangkangannya. Kepala kami yang sudah saling menempel satu sama lain, membuatku tak bisa menahan diri lagi. Sesaat kemudian, ku remas mesra tonjolan yang sudah sejak tadi merangsang tanganku, membuat pemiliknya terkejut.
“Ver, geli ah…”, ujar Alwi sambil membuka matanya. Ia pikir aku sedang becanda, jadi ia hanya tersenyum aja.
“Tenang aja…”, bisikku, sambil memasukkan tanganku ke balik celana training berkaret yg Alwi kenakan. Ku genggam batang kontol Alwi yang kayaknya sudah ngaceng, mungkin karena subuh. Besar juga! Alwi hanya terdiam, mungkin dia merasa heran sebab baru sekarang ada lelaki lain yang menggenggam penisnya seperti itu. Ku gosok-gosokkan tanganku dengan perlahan dan lembut, membuat Alwi mengerang kecil dan memejamkan matanya. Ku coba menarik tanganku dari selangkangannya, tapi Alwi buru-buru menahan dengan tangannya, seolah memberi isyarat bahwa aku boleh teruskan. Makanya ku serudukkan tanganku makin dalam, mencapai kantung biji zakarnya. Ku permainkan jari-jariku dengan lincah di sana, sehingga Alwi menggeliat keenakan. Rasanya ada yang basah, pasti precum-nya mulai keluar karena rangsangan yang ku berikan. Ku pijat lembut kontolnya dengan gerakan naik turun.
Tak berapa lama kemudian, Alwi memberi kode agar aku mengeluarkan tanganku dulu dari celananya. Alwi memasukkan kakinya yang tadinya terjulur ke luar tenda, dan aku pun mengikutinya, sampai tenda itu benar-benar sesak oleh kami berdua. Aku ingin nyelonong ke bawah agar mulutku mencapai selangkangannya, tapi ruang yang ada terlalu sempit. Lantas aku duduk bersila di dekat tubuhnya. Badanku terpaksa ku jongkokkan demi menggapai kontolnya yang sudah seperti buahan ranum itu. Ketika bibirku menyentuh kepala kontolnya, lidahku langsung berputar-putar di sekitarnya, membuat tubuh Alwi bergetar. Dinginnya udara puncak gunung di subuh hari itu seolah tak terasakan oleh Alwi ketika aku memelorotkan celananya sampai ke batas lutut. Di depanku kini terhampar pemandangan yang indah, kontol seorang lelaki jantan lengkap dengan asesorisnya (jambut halus dan kantong biji zakar). Segera ku santap “sarapan” yang kepagian itu. Mulutku yang sudah terlatih oleh beberapa pengalaman sebelumnya mungkin terasa lebih nikmat daripada memek wanita. Aku sendiri kurang tahu persis kalau dia masih perjaka atau tidak, tapi aku yakin inilah pertama kali ada mulut lelaki yang menggerayangi kontolnya.
“Ah, ah, ah, ah… terusin Ver… terusin…”, rintihnya ketika gerakan memompa kontolnya dengan mulut ku percepat. Kini Alwi bahkan berusaha mengangkat-angkat pinggulnya. Gerakanku kian membuas, sampai akhirnya Alwi mendorong kepalaku hingga kontolnya benar-benar tertancap di pangkal lidahku, lalu…
“Aaaa… aaaaa…. aaaa….”, rintih Alwi tersendat-sendat seirama dengan semprotan air mani segar beberapa kali yang terasa hangat di rongga mulutku. Ku telan semua “air kelelakian” Alwi. Sampai ia menghempaskan pinggulnya ke tikar, barulah aku membebaskan burung perkasa yang barusan muntah itu dari perangkap mulutku. Ku lihat masih ada sedikit tetesan mani di ujung kontolnya dan ku bersihkan dengan tepian kaosnya yang sedikit nyembul di bawah jaketnya.
Alwi tidak membuka matanya. Dia tertidur saking nikmat dan lelahnya. Namun aku berusaha menarik celananya yang melorot ke lutut itu lalu ku rapikan. Setelah itu aku segera keluar dari tenda untuk melihat keadaan di sekeliling. Aku kuatir jika Edi yang tidur di kantong hanya beberapa meter dari tenda terbangun sebab tadi kami cukup berisik. Ternyata tidak, Edi sepertinya tertidur lelap sekali. Di ufuk timur sudah kelihatan terang walau matahari belum terbit. Aku mengambil air dari termos dan ku kumur-kumur mulutku supaya sisa-sisa mani tidak menimbulkan bau yang menyengat.
Itulah salah satu pengalaman indah yang pernah ku lalui dengan Alwi. Yang jelas, setelah peristiwa itu, aku sering berhubungan seks dengan Alwi setiap kali ada kesempatan, termasuk dalam kamarku sendiri. Di lain pihak, aku juga masih tetap bisa menikmati Raka, walaupun pertemuan kami sudah agak jarang sampai akhir semester III. Alwi hanya salah satu dari beberapa lelaki dalam hidupku di masa pubertas. Akan ku ungkapkan yang lainnya di kisah-kisah selanjutnya.
Adalah Alwi, seorang anak tetangga yang akhirnya menjadi akrab denganku. Padahal sebenarnya aku berteman dengan adiknya, si Joni, yang sebaya denganku. Alwi sendiri baru saja tamat SMA dan tidak terus ke perguruan tinggi sebab orangtuanya kurang mampu. Mula-mulanya tidak terlalu dekat denganku, sebab jika aku main ke rumahnya, yang ku cari tentunya adalah si Joni, adikknya. Perawakan Alwi tinggi dan proporsional, berbeda dengan adiknya. Parasnya pun kelihatan jauh lebih keras ketimbang Joni yang tampak imut. Dari seringnya aku main ke rumah mereka, aku tahu bahwa Alwi pintar bermain gitar. Aku sendiri sebenarnya ingin sekali bermain gitar, tapi jariku selalu saja kesakitan jika menekan dawainya. Namun kalau alat musik piano, boleh dibilang aku sangat mahir. Wajar aja, sejak sebelum aku lahir, di rumah telah ada sebuah piano klasik, benda yang sangat disayangi ayahku. Aku belajar piano secara autodidak karena ayahku hampir tidak punya waktu untuk mengajariku, dan aku tidak pernah mau ikut les sebab rasanya terlalu teoritis.
Setiap kali aku ke rumah Joni dan melihat si Alwi bermain gitar, aku jadi terkagum-kagum. Dia sanggup memainkan melody lagu dengan terampil dan artistik. Justru karena aku tidak terlalu pintar bermain gitar, maka aku minta Alwi mengajarkannya kepadaku. Itulah awalnya kami mulai berteman akrab. Lagi pula si Alwi ingin “tukar ilmu” denganku. Aku sering mengajaknya bermain piano di rumah, tentunya saat ayahku sedang keluar, sebab beliau tidak suka ada yang mengutak-atik piano antik itu, kecuali beliau dan aku. Terkadang aku dan Alwi juga suka berduet, aku main piano dan dia main gitar. Hal itu membuat aku makin tertarik padanya, apalagi wajahnya memang ganteng, dan menurutku posturnya sangat sexy. Anyway, yang paling utama membuatku tertarik ialah kepintarannya bermain gitar.
Persahabatanku dengan Alwi makin lama semakin akrab, apalagi ternyata kami sama-sama suka hiking dan mendaki gunung. Justru adiknya, si Joni, tidak punya hobi seperti itu, sehingga akhirnya aku malah akrab dengan kakaknya. Kalau mendaki gunung bersama, Alwi selalu membawa gitarnya. Aku sih ingin juga membawa piano, tapi bagaimana mungkin? Nah, kalau lagi di puncak gunung, Alwi bermain gitar dan aku menyanyi. Salah satu lagu favorit kami ialah “Always Somewhere”. Aku hafal liriknya sehingga tak perlu membawa song book segala.
Suatu hari aku diajak Alwi mendaki gunung. Kami hanya pergi bertiga, aku, Alwi dan seorang temannya lagi yang bernama Edi. Dia bukan tetangga kami, tapi mantan teman sekelas Alwi di SMA. Ketika tengah mendaki, aku sempat tergelincir dan nyaris masuk jurang. Tasku jatuh ke jurang, tapi Alwi dan Edi bisa menyelamatkanku. Kami beristirahat sejenak, lalu terus mendaki sampai ke puncak.
Matahari sudah hampir terbenam saat kami tiba di puncak. Angin dingin behembus cukup kencang, membuat kami merasa lapar. Alwi mengeluarkan bekal makan malam untuk kami bertiga. Malam makin larut, udara dingin mulai menusuk, tapi hembusan angin agak mereda. Tak banyak pendaki gunung lain malam itu, sehingga kami leluasa memilih tempat untuk membuat api unggun kecil. Selama beberapa jam kami bernyanyi bersama di dekat api unggun sambil menghangatkan tubuh. Si Edi yang duluan menyerah, ia segera membuka kantong tidurnya, dan seperti mengacuhkan berisiknya nyanyian kami, hanya dalam beberapa menit dia sudah tertidur. Kira-kira sejam kemudian aku dan Alwi juga memutuskan untuk tidur. Aku sempat bingung juga, sebab kantong tidurku turut jatuh ke jurang bersama tasku. Untunglah Alwi membawa tenda kecil. Memang dia kurang suka memakai kantung tidur. Aku membantu Alwi membuka dan memasang tendanya. Aku merasa tidak enakan juga, sebab tampaknya tenda itu terlalu kecil untuk kami berdua. Namun Alwi dapat ide bagus. Kami tiduran dengan kaki terjulur ke luar tenda. Selimutnya hanya satu, jadi terpaksa kami pakai berdua.
Meskipun sudah beberapa kali kami mendaki bersama, tapi baru sekarang aku tidur setenda dengan Alwi. Aku jadi deg-degan, walau terbungkus jaket dan selimut, Alwi yang terbaring hanya beberapa cm dariku kelihatan sangat menggiurkan di terpa sinar bulan dan cahaya dari sisa-sisa api unggun. Aku gelisah, sulit terlelap, pandanganku tak putus-putusnya ke arah wajah yang tampan dan macho itu.
Lamunanku tiba-tiba buyar ketika Alwi membuka matanya dan menyapa, “Kenapa Ver? Nggak bisa tidur ya? Mungkin kamu kedinginan. Kamu pake sendiri aja selimutnya supaya lebih hangat. Terlalu kecil untuk kita berdua.”
“Oh, nggak usah, aku nggak apa-apa kok. Begini aja udah cukup”, jawabku.
“Oke, kalau begitu kamu mendekat sedikit ke sini, supaya selimutnya muat”, ajak Alwi.
Walaupun aku merasa agak canggung, ku terima tawarannya. Ku geserkan tubuhku mendekatinya, tapi aku terkejut seperti kesetrum ketika Alwi kemudian merangkul tubuhku. Aku tahu Alwi tidak berpikiran macam-macam, sebab dia memang bukan gay. Maksudnya merangkulku ialah supaya aku merasa hangat. Alwi segera meneruskan tidurnya, tetapi aku tidak bisa. Wajahku terlalu dekat dengan wajahnya sehingga hanya dengan satu gerakan kecil saja bibir kami bisa saling bersentuhan. Nafasnya yang memburu namun segar menerpa wajahku, membuat aku menjadi terangsang. Aku jadi gelisah, tapi tidak berani bergerak sedikit pun. Pelukan Alwi bukan hanya memberi kehangatan terhadap tubuhku, tapi juga bathinku. Aku merasa seperti terlindungi.
Malam semakin larut dan akhirnya aku terlelap juga sebab pendakian tadi dan kejadian aku nyaris masuk jurang sudah sangat memeras tenagaku. Menjelang subuh aku terbangun lagi, tubuhku menggigil diserang rasa dingin. Sepertinya tahu aku kedinginan, Alwi mempererat pelukannya. Tanganku terjepit di antara paha kami, tak sengaja menyentuh tonjolan di selangkangannya. Kepala kami yang sudah saling menempel satu sama lain, membuatku tak bisa menahan diri lagi. Sesaat kemudian, ku remas mesra tonjolan yang sudah sejak tadi merangsang tanganku, membuat pemiliknya terkejut.
“Ver, geli ah…”, ujar Alwi sambil membuka matanya. Ia pikir aku sedang becanda, jadi ia hanya tersenyum aja.
“Tenang aja…”, bisikku, sambil memasukkan tanganku ke balik celana training berkaret yg Alwi kenakan. Ku genggam batang kontol Alwi yang kayaknya sudah ngaceng, mungkin karena subuh. Besar juga! Alwi hanya terdiam, mungkin dia merasa heran sebab baru sekarang ada lelaki lain yang menggenggam penisnya seperti itu. Ku gosok-gosokkan tanganku dengan perlahan dan lembut, membuat Alwi mengerang kecil dan memejamkan matanya. Ku coba menarik tanganku dari selangkangannya, tapi Alwi buru-buru menahan dengan tangannya, seolah memberi isyarat bahwa aku boleh teruskan. Makanya ku serudukkan tanganku makin dalam, mencapai kantung biji zakarnya. Ku permainkan jari-jariku dengan lincah di sana, sehingga Alwi menggeliat keenakan. Rasanya ada yang basah, pasti precum-nya mulai keluar karena rangsangan yang ku berikan. Ku pijat lembut kontolnya dengan gerakan naik turun.
Tak berapa lama kemudian, Alwi memberi kode agar aku mengeluarkan tanganku dulu dari celananya. Alwi memasukkan kakinya yang tadinya terjulur ke luar tenda, dan aku pun mengikutinya, sampai tenda itu benar-benar sesak oleh kami berdua. Aku ingin nyelonong ke bawah agar mulutku mencapai selangkangannya, tapi ruang yang ada terlalu sempit. Lantas aku duduk bersila di dekat tubuhnya. Badanku terpaksa ku jongkokkan demi menggapai kontolnya yang sudah seperti buahan ranum itu. Ketika bibirku menyentuh kepala kontolnya, lidahku langsung berputar-putar di sekitarnya, membuat tubuh Alwi bergetar. Dinginnya udara puncak gunung di subuh hari itu seolah tak terasakan oleh Alwi ketika aku memelorotkan celananya sampai ke batas lutut. Di depanku kini terhampar pemandangan yang indah, kontol seorang lelaki jantan lengkap dengan asesorisnya (jambut halus dan kantong biji zakar). Segera ku santap “sarapan” yang kepagian itu. Mulutku yang sudah terlatih oleh beberapa pengalaman sebelumnya mungkin terasa lebih nikmat daripada memek wanita. Aku sendiri kurang tahu persis kalau dia masih perjaka atau tidak, tapi aku yakin inilah pertama kali ada mulut lelaki yang menggerayangi kontolnya.
“Ah, ah, ah, ah… terusin Ver… terusin…”, rintihnya ketika gerakan memompa kontolnya dengan mulut ku percepat. Kini Alwi bahkan berusaha mengangkat-angkat pinggulnya. Gerakanku kian membuas, sampai akhirnya Alwi mendorong kepalaku hingga kontolnya benar-benar tertancap di pangkal lidahku, lalu…
“Aaaa… aaaaa…. aaaa….”, rintih Alwi tersendat-sendat seirama dengan semprotan air mani segar beberapa kali yang terasa hangat di rongga mulutku. Ku telan semua “air kelelakian” Alwi. Sampai ia menghempaskan pinggulnya ke tikar, barulah aku membebaskan burung perkasa yang barusan muntah itu dari perangkap mulutku. Ku lihat masih ada sedikit tetesan mani di ujung kontolnya dan ku bersihkan dengan tepian kaosnya yang sedikit nyembul di bawah jaketnya.
Alwi tidak membuka matanya. Dia tertidur saking nikmat dan lelahnya. Namun aku berusaha menarik celananya yang melorot ke lutut itu lalu ku rapikan. Setelah itu aku segera keluar dari tenda untuk melihat keadaan di sekeliling. Aku kuatir jika Edi yang tidur di kantong hanya beberapa meter dari tenda terbangun sebab tadi kami cukup berisik. Ternyata tidak, Edi sepertinya tertidur lelap sekali. Di ufuk timur sudah kelihatan terang walau matahari belum terbit. Aku mengambil air dari termos dan ku kumur-kumur mulutku supaya sisa-sisa mani tidak menimbulkan bau yang menyengat.
Itulah salah satu pengalaman indah yang pernah ku lalui dengan Alwi. Yang jelas, setelah peristiwa itu, aku sering berhubungan seks dengan Alwi setiap kali ada kesempatan, termasuk dalam kamarku sendiri. Di lain pihak, aku juga masih tetap bisa menikmati Raka, walaupun pertemuan kami sudah agak jarang sampai akhir semester III. Alwi hanya salah satu dari beberapa lelaki dalam hidupku di masa pubertas. Akan ku ungkapkan yang lainnya di kisah-kisah selanjutnya.
Tags:
Cerita Gay
Leave a comment